Apakah Kamu Tahu Fungsi DPR dan DPD dalam Sistem Pemerintahan Indonesia? Simak Perbedaan & Sinergi

PARLEMENTARIA.ID – DPR dan DPD adalah dua lembaga parlemen Indonesia yang sering disamakan, padahal keduanya memiliki fungsi sangat berbeda. Lalu, bagaimana cara kerja mereka dalam membentuk kebijakan negara?

Pemahaman tentang fungsi DPR dan DPD menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia untuk memahami bagaimana sistem demokrasi kita bekerja. Kedua lembaga ini merupakan bagian integral dari MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang berperan dalam menjalankan kedaulatan rakyat melalui mekanisme perwakilan.

Dalam praktiknya, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) memiliki kewenangan yang berbeda namun saling melengkapi dalam proses legislasi dan pengawasan pemerintahan. Perbedaan mendasar ini seringkali tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat, sehingga menimbulkan kebingungan tentang peran masing-masing lembaga.

Simak penjelasan lengkapnya berikut ini!

Apa Itu DPR dan DPD?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum berdasarkan sistem proporsional terbuka. Menurut UUD 1945 Pasal 20 ayat (1), DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Lembaga ini terdiri dari 575 anggota yang berasal dari partai politik peserta pemilu dan mewakili seluruh rakyat Indonesia.

Dasar hukum pembentukan DPR tercantum dalam UUD 1945 Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa DPR terdiri atas anggota-anggota yang dipilih melalui pemilihan umum. Anggota DPR bertugas selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk periode berikutnya melalui mekanisme pemilu.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

DPD adalah lembaga perwakilan daerah yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 22C, DPD berfungsi sebagai perwakilan teritorial yang menyuarakan kepentingan daerah di tingkat nasional.

Lembaga ini terdiri dari 136 anggota, dengan setiap provinsi diwakili oleh 4 orang anggota. Berbeda dengan DPR, anggota DPD tidak berasal dari partai politik melainkan merupakan perseorangan yang dipilih berdasarkan elektabilitas individual di daerah masing-masing.

DPD dibentuk sebagai bagian dari reformasi sistem ketatanegaraan Indonesia yang bertujuan mengakomodasi kepentingan daerah dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi yang menjadi karakteristik sistem pemerintahan Indonesia pasca reformasi.

Perbedaan Fungsi DPR dan DPD

Untuk memahami perbedaan mendasar antara kedua lembaga ini, berikut adalah tabel perbandingan fungsi DPR dan DPD:

Aspek DPR DPD
Fungsi Legislasi Membentuk UU, membahas dan menyetujui RUU, mengubah/mencabut UU Mengajukan RUU terkait otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, dan pengelolaan SDA
Fungsi Anggaran Membahas dan menyetujui APBN, mengawasi pelaksanaan APBN Memberikan pertimbangan atas RUU APBN yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
Fungsi Pengawasan Mengawasi pelaksanaan UU dan kebijakan pemerintah secara umum Mengawasi pelaksanaan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah
Basis Representasi Perwakilan politik nasional melalui partai politik Perwakilan teritorial/regional melalui individu
Jumlah Anggota 575 orang 136 orang (4 per provinsi)
Masa Jabatan 5 tahun 5 tahun
Hak Interpelasi Ya, dapat melakukan interpelasi kepada pemerintah Tidak memiliki hak interpelasi
Hak Angket Ya, dapat membentuk pansus dan angket Terbatas pada bidang kewenangannya

Fungsi Legislasi

DPR memiliki kekuasaan penuh dalam membentuk undang-undang sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 20. Setiap RUU yang akan menjadi undang-undang harus mendapat persetujuan DPR. Lembaga ini juga berwenang mengubah atau mencabut undang-undang yang sudah ada.

Sementara itu, DPD memiliki fungsi legislasi yang terbatas. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 22D, DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Fungsi Anggaran

Dalam hal anggaran, DPR memiliki peran sentral dalam membahas dan menyetujui APBN yang diajukan pemerintah. Tanpa persetujuan DPR, APBN tidak dapat ditetapkan dan dilaksanakan. DPR juga berwenang mengawasi pelaksanaan APBN dan dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas penggunaan anggaran negara.

DPD memiliki peran yang lebih terbatas dalam fungsi anggaran. Lembaga ini memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Namun, keputusan final tetap berada di tangan DPR.

Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan DPR sangat luas, mencakup seluruh aspek pelaksanaan undang-undang dan kebijakan pemerintah. DPR dapat melakukan interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah. Lembaga ini juga dapat memanggil menteri dan pejabat pemerintah untuk memberikan keterangan.

DPD memiliki fungsi pengawasan yang lebih spesifik, yaitu mengawasi pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, serta pajak, pendidikan, dan agama.

Contoh Sinergi DPR-DPD dalam Kebijakan Publik

Studi Kasus: Undang-Undang Desa

Salah satu contoh nyata sinergi antara DPR dan DPD adalah dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Proses pembentukan UU ini melibatkan kolaborasi intensif antara kedua lembaga.

DPD berperan dalam mengajukan konsep awal RUU Desa berdasarkan aspirasi dan kebutuhan daerah yang dihimpun dari berbagai provinsi. Anggota DPD melakukan kajian mendalam tentang kondisi perdesaan di Indonesia dan mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi desa-desa di seluruh nusantara.

Sementara itu, DPR berperan dalam membahas, menyempurnakan, dan akhirnya menyetujui RUU tersebut menjadi undang-undang. Proses pembahasan di DPR melibatkan berbagai komisi dan fraksi untuk memastikan bahwa UU Desa dapat mengakomodasi kepentingan nasional sekaligus menjawab kebutuhan lokal.

Hasil dari sinergi ini adalah lahirnya UU Desa yang komprehensif, mengatur tentang kewenangan desa, tata kelola pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. UU ini juga mengalokasikan dana desa yang signifikan untuk mendorong pembangunan di tingkat grass root.

Studi Kasus: Kebijakan Otonomi Daerah

Dalam implementasi otonomi daerah, DPR dan DPD juga menunjukkan sinergi yang baik. DPD berfungsi sebagai penyalur aspirasi daerah terkait pelaksanaan otonomi daerah, sementara DPR berperan dalam membuat regulasi yang mendukung efektivitas otonomi daerah.

Contohnya adalah dalam pembahasan revisi UU Pemerintahan Daerah. DPD melakukan berbagai kunjungan kerja ke daerah untuk menghimpun masukan dari pemerintah daerah dan masyarakat. Hasil penghimpunan aspirasi ini kemudian disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan dalam pembahasan revisi UU.

DPR kemudian memproses masukan dari DPD bersama dengan analisis dari pemerintah dan stakeholder lainnya untuk menghasilkan UU Pemerintahan Daerah yang lebih responsive terhadap kebutuhan daerah. Sinergi ini menghasilkan regulasi yang lebih aplikatif dan dapat menjawab tantangan otonomi daerah di lapangan.

Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional, DPR dan DPD juga berkolaborasi untuk menentukan prioritas pembentukan undang-undang. DPD memberikan masukan tentang RUU yang urgent dari perspektif daerah, sementara DPR melakukan analisis komprehensif untuk menentukan prioritas nasional.

Kolaborasi ini memastikan bahwa Prolegnas tidak hanya mencerminkan agenda politik nasional, tetapi juga mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi daerah. Hasilnya adalah program legislasi yang lebih seimbang antara kepentingan nasional dan lokal.

Tantangan Kerja Sama DPR dan DPD

Keterbatasan Kewenangan DPD

Salah satu tantangan utama dalam kerja sama DPR dan DPD adalah keterbatasan kewenangan DPD yang diatur dalam konstitusi. Berdasarkan catatan Setjen DPR, sekitar 30% RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah mengalami hambatan dalam proses pembahasan karena ketidaksepahaman antara DPR dan DPD terkait lingkup kewenangan masing-masing.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara, dalam wawancara dengan media nasional menyatakan bahwa “keterbatasan kewenangan DPD dalam proses legislasi menjadi salah satu kelemahan sistem bikameral Indonesia. DPD hanya memiliki fungsi auxiliary yang tidak seimbang dengan DPR.”

Keterbatasan ini seringkali menimbulkan frustasi di kalangan anggota DPD yang merasa aspirasi daerah tidak dapat tersalurkan secara optimal. Dalam beberapa kasus, RUU yang diajukan DPD tidak mendapat respons yang memadai dari DPR karena dianggap tidak masuk dalam prioritas legislasi nasional.

Perbedaan Perspektif Politik

Tantangan lain adalah perbedaan perspektif politik antara DPR dan DPD. DPR yang berasal dari partai politik cenderung memiliki agenda politik partai, sementara DPD yang merupakan perwakilan independen lebih fokus pada kepentingan regional.

Perbedaan ini seringkali muncul dalam pembahasan RUU yang memiliki implikasi politik tinggi. Misalnya, dalam pembahasan RUU tentang pemilihan kepala daerah, terjadi perbedaan pandangan yang cukup signifikan antara DPR dan DPD terkait mekanisme pemilihan yang paling sesuai dengan kondisi daerah.

Koordinasi Kelembagaan

Koordinasi antara DPR dan DPD juga menghadapi kendala teknis kelembagaan. Kedua lembaga memiliki sistem kerja dan mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda. DPR bekerja melalui sistem fraksi dan komisi, sementara DPD bekerja melalui sistem individual dan kelompok kerja.

Perbedaan sistem kerja ini seringkali menyulitkan koordinasi, terutama dalam pembahasan RUU yang memerlukan sinkronisasi antara kepentingan nasional dan daerah. Diperlukan mekanisme koordinasi yang lebih efektif untuk mengatasi kendala ini.

Keterbatasan Sumber Daya

Tantangan lain adalah keterbatasan sumber daya, baik dari segi anggaran maupun sumber daya manusia. DPD memiliki keterbatasan anggaran yang lebih besar dibandingkan DPR, sehingga kemampuannya dalam melakukan kajian mendalam dan sosialisasi ke daerah menjadi terbatas.

Keterbatasan ini berdampak pada kualitas masukan yang dapat diberikan DPD kepada DPR dalam proses legislasi. Padahal, untuk menghasilkan undang-undang yang berkualitas dan applicable di daerah, diperlukan masukan yang komprehensif dari DPD berdasarkan kajian mendalam terhadap kondisi riil di daerah.

Solusi dan Upaya Perbaikan

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan, antara lain:

  1. Penguatan Mekanisme Koordinasi: Pembentukan forum koordinasi reguler antara pimpinan DPR dan DPD untuk membahas isu-isu strategis yang memerlukan sinergi kedua lembaga.
  2. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan: Program peningkatan kapasitas anggota dan sekretariat DPD untuk memperkuat kemampuan dalam melakukan kajian dan analisis kebijakan.
  3. Perbaikan Mekanisme Konsultasi: Pengembangan mekanisme konsultasi yang lebih terstruktur antara DPR dan DPD dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU.
  4. Optimalisasi Teknologi Informasi: Pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan koordinasi antara DPR dan DPD.

Penutup

DPR dan DPD memiliki peran komplementer dalam demokrasi Indonesia yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Meskipun memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda, kedua lembaga ini harus bekerja secara sinergis untuk menghasilkan kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Fungsi DPR sebagai lembaga legislatif utama dan fungsi DPD sebagai perwakilan daerah harus dipahami secara komprehensif oleh masyarakat. Pemahaman yang baik tentang peran masing-masing lembaga akan meningkatkan partisipasi publik dalam proses demokrasi dan mendorong akuntabilitas kedua lembaga tersebut.

Tantangan yang dihadapi dalam kerja sama DPR dan DPD memerlukan solusi yang sistematis dan berkelanjutan. Reformasi kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan perbaikan mekanisme koordinasi menjadi kunci untuk mengoptimalkan sinergi kedua lembaga.

Ke depan, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem bikameral Indonesia untuk memastikan bahwa DPR dan DPD dapat menjalankan fungsinya secara optimal dalam memperkuat demokrasi dan mendorong pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sistem perwakilan yang kuat dan efektif merupakan fondasi demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat sinergi DPR dan DPD harus terus dilakukan sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

Bagaimana pendapatmu tentang kinerja DPR dan DPD selama ini? Apakah sinergi kedua lembaga ini sudah optimal dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan daerah? Bagikan pendapatmu di kolom komentar! (red)