Krisis Kepercayaan DPR: Ketika Rakyat Kehilangan Harapan pada Wakil Mereka

PARLEMENTARIA.ID – Krisis Kepercayaan DPR? Demokrasi Indonesia menghadapi tantangan serius dalam bentuk krisis kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023 mengungkapkan fakta mengejutkan: hanya 19% masyarakat yang masih percaya pada kinerja DPR, angka terendah dalam dekade terakhir sejak era Reformasi 1998.

Krisis kepercayaan ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan nyata dari kekecewaan mendalam masyarakat terhadap lembaga legislatif tertinggi negara. Dari skandal korupsi yang beruntun, kinerja legislasi yang dinilai lemah, hingga kesenjangan antara gaji fantastis dengan produktivitas yang dipertanyakan, DPR kini menghadapi ujian terberat dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Fenomena ini semakin terlihat jelas di era digital, di mana ketidakpuasan publik termanifestasi dalam berbagai bentuk protes online. Pencarian Google dengan kata kunci “DPR gaji besar kerja minim” melonjak 120% sepanjang 2024, sementara tagar #DPRJanganMaluBerkarya menjadi viral di platform X, mencerminkan frustrasi kolektif masyarakat.

Potret Krisis Kepercayaan: Data dan Fakta

Survei dan Polling Nasional

 

Hasil survei LSI 2023 menunjukkan bahwa 81% masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja DPR, sementara hanya 19% yang menyatakan kepercayaan. Angka ini menjadi yang terendah sejak Reformasi 1998, menandai titik nadir kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat.

Survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada April 2023 memperkuat temuan tersebut. Sebanyak 65% responden menganggap DPR sebagai lembaga yang korup, menempatkannya sebagai institusi paling tidak dipercaya bersama dengan partai politik. Data ini menunjukkan bahwa masalah DPR bukan hanya soal kinerja, tetapi juga integritas.

Tren Digital dan Media Sosial

Era digital memberikan platform baru bagi ekspresi ketidakpuasan publik. Google Trends 2024 mencatat peningkatan signifikan dalam pencarian terkait kritik terhadap DPR. Selain lonjakan 120% untuk frasa “DPR gaji besar kerja minim”, istilah “korupsi DPR” juga mengalami peningkatan pencarian yang substansial.

Di platform media sosial X (sebelumnya Twitter), tagar #DPRJanganMaluBerkarya menjadi trending topic pada 2024, digunakan ribuan pengguna untuk menyindir tingkat absensi dan kinerja yang dinilai buruk. Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis kepercayaan telah melampaui batas-batas tradisional dan menjadi diskusi publik yang luas.

Lima Akar Masalah Krisis Kepercayaan

 

1. Skandal Korupsi yang Berulang

Korupsi menjadi dosa terbesar yang terus menghantui DPR. Kasus terbaru yang mencuat adalah dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia pada 2024, yang melibatkan anggota Komisi XI DPR. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan melakukan penggeledahan di kantor Bank Indonesia pada 16 Desember 2024.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir, sebanyak 42 anggota DPR terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Kasus-kasus ini beragam, mulai dari suap dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) hingga penggelapan dana bantuan sosial. Setiap skandal yang terungkap semakin mengikis kepercayaan publik dan memperkuat stereotip negatif tentang DPR.

2. Kinerja Legislasi yang Tidak Optimal

Meski DPR periode 2019-2024 berhasil mengesahkan 225 undang-undang dengan rata-rata 45 UU per tahun, melampaui target 35 UU, kualitas dan relevansi produk legislasi masih dipertanyakan. Contoh paling mencolok adalah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang telah “terbengkalai” selama 20 tahun.

Amnesty International Indonesia mengkritik keras keterlambatan pembahasan RUU PPRT, yang seharusnya menjadi prioritas mengingat jutaan pekerja rumah tangga yang membutuhkan perlindungan hukum. Mandeknya RUU ini dianggap sebagai bukti bahwa DPR kurang responsif terhadap isu-isu yang langsung menyentuh kehidupan rakyat.

3. Ketimpangan Gaji dan Produktivitas

Persoalan gaji versus kinerja menjadi sumber kritik paling keras dari masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2000 dan Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR, anggota DPR menerima gaji sebesar Rp 54 juta per bulan, belum termasuk berbagai tunjangan lainnya. Angka ini kontras tajam dengan upah minimum regional yang berkisar antara Rp 3-5 juta.

Yang lebih mengecewakan, tingkat kehadiran dalam sidang paripurna hanya mencapai 41,79% pada beberapa sesi di Januari 2024. Data ini memunculkan pertanyaan fundamental: apakah kompensasi yang diterima sebanding dengan kontribusi yang diberikan?

4. Ketimpangan Representasi Sosial

Analisis ICW terhadap komposisi anggota DPR periode 2024-2029 menunjukkan ketimpangan representasi yang mengkhawatirkan. Sebanyak 61% anggota DPR merupakan pengusaha atau memiliki latar belakang bisnis, sementara hanya 5% yang berasal dari kalangan buruh dan petani.

Ketimpangan ini menciptakan gap representasi yang signifikan, di mana kepentingan rakyat kecil kurang terwakili dalam proses legislasi. Kondisi ini mempersulit DPR dalam memahami dan merespons kebutuhan riil masyarakat grassroot.

5. Komunikasi Publik yang Buruk

Kualitas komunikasi publik anggota DPR kerap menjadi sorotan negatif. Pernyataan kontroversial yang dilontarkan beberapa anggota, seperti kasus Ahmad Dhani pada Maret 2025 yang dianggap mengandung unsur seksis dan rasis, memicu gelombang kritik publik hingga berujung pada sanksi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Selain itu, transparansi dalam pengelolaan anggaran masih minim. Publik kesulitan mengakses informasi detail tentang penggunaan anggaran DPR, yang seharusnya menjadi bagian dari akuntabilitas publik.

Solusi Komprehensif untuk Pemulihan Kepercayaan

Reformasi Sistem Rekrutmen

Langkah pertama yang krusial adalah reformasi sistem rekrutmen partai politik. Model yang diterapkan Singapura, yang mengutamakan rekam jejak dan kompetensi calon, dapat diadopsi dan disesuaikan dengan konteks Indonesia. Partai politik harus lebih selektif dalam menentukan calon legislatif, mengutamakan integritas dan kapabilitas daripada sekadar koneksi atau kemampuan finansial.

Penguatan Pengawasan Masyarakat

Transparansi dan akuntabilitas dapat ditingkatkan melalui platform digital yang memungkinkan masyarakat mengawasi kinerja DPR secara real-time. DPR harus mewajibkan publikasi laporan kinerja dan penggunaan anggaran di situs resmi yang mudah diakses publik.

Pengembangan aplikasi “DPR Watch” dapat memungkinkan masyarakat memantau tingkat kehadiran, partisipasi dalam pembahasan, dan produktivitas setiap anggota DPR. Sistem rating dan feedback dari konstituen juga dapat diintegrasikan untuk meningkatkan responsivitas.

Implementasi Mekanisme Recall

Mekanisme recall atau penarikan kembali anggota DPR yang tidak memenuhi standar kinerja dapat menjadi solusi inovatif. DPRD Jawa Barat telah menguji coba sistem recall pada 2023 untuk anggota yang melanggar kode etik. Model ini dapat dikembangkan dan diterapkan di tingkat nasional sebagai bentuk check and balance dari rakyat.

Peningkatan Kualitas Komunikasi Publik

Program pelatihan komunikasi publik yang komprehensif perlu diimplementasikan untuk seluruh anggota DPR. Pelatihan ini tidak hanya mencakup teknik komunikasi, tetapi juga sensitivitas sosial dan etika publik untuk mengurangi potensi pernyataan kontroversial yang dapat merusak citra lembaga.

Pembelajaran dari Era Digital

Fenomena viral tagar #DPRJanganMaluBerkarya di platform X pada 2024 memberikan pelajaran berharga tentang kekuatan media sosial dalam mendorong akuntabilitas publik. Tagar ini muncul sebagai respons terhadap tingkat absensi yang tinggi dan mandeknya pembahasan RUU PPRT.

Ribuan pengguna X menggunakan tagar ini untuk mengkritik kinerja DPR, menciptakan tekanan publik yang signifikan. Fenomena ini mengingatkan pada era Reformasi 1998, ketika kepercayaan publik terhadap lembaga negara hanya berkisar 40-50% menurut data Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2004.

Perbedaannya, era digital memungkinkan kritik menyebar lebih cepat dan masif, memaksa DPR untuk merespons dengan lebih cepat. Beberapa anggota DPR bahkan berjanji untuk meningkatkan kehadiran sidang pasca-viralnya tagar tersebut. Namun, perubahan nyata masih terbatas, menunjukkan perlunya reformasi struktural yang lebih mendalam.

Peran Masyarakat dalam Reformasi

Rakyat Demonstrasi tuntut DPR di depan gedung parlemen

Masyarakat memiliki peran krusial dalam mendorong reformasi DPR. Selain melalui media sosial, partisipasi aktif dalam proses politik seperti pemilihan umum, pengawasan kinerja wakil rakyat, dan keterlibatan dalam konsultasi publik RUU menjadi kunci perubahan.

Organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media massa juga perlu berkolaborasi dalam menciptakan sistem pengawasan yang efektif. Transparansi dan akuntabilitas bukan hanya tanggung jawab DPR, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif seluruh elemen bangsa.

Kesimpulan: Menuju DPR yang Lebih Baik

Sidang paripurna dengan banyak kursi kosong

Krisis kepercayaan terhadap DPR merupakan tantangan serius bagi demokrasi Indonesia, tetapi bukan tanpa solusi. Reformasi rekrutmen, penguatan pengawasan publik, implementasi mekanisme recall, dan peningkatan kualitas komunikasi dapat menjadi langkah awal pemulihan kepercayaan.

DPR harus kembali pada hakikatnya sebagai cerminan dan penyuara rakyat, bukan sebagai elit yang terpisah dari konstituennya. Perubahan ini memerlukan komitmen kuat dari seluruh stakeholder, mulai dari partai politik, anggota DPR, hingga masyarakat luas.

Era digital memberikan peluang baru untuk mempercepat reformasi melalui transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk mewujudkan DPR yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat dan mampu memulihkan kepercayaan publik yang telah terkikis.

Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kemampuan kita bersama untuk mereformasi sistem politik, termasuk DPR sebagai jantung demokrasi perwakilan. Saatnya bergerak dari kritik menjadi aksi nyata untuk perubahan yang berkelanjutan. (red)