Anggota DPRD Jabar Waspadai Tantangan Keuangan 2026, Defisit APBD Bisa Capai Rp 3 T

Kepatuhan Masyarakat dalam Pembayaran Pajak dan Retribusi Daerah

PARLEMENTARIA.ID – Anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi Jawa Barat, Daddy Rohanady, menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah di tengah ancaman penurunan transfer keuangan dari pemerintah pusat pada tahun 2026. Proyeksi ini dikhawatirkan memicu turbulensi keuangan Jabar jilid III dengan potensi defisit yang mencapai lebih dari Rp 3 triliun.

Menurut Daddy, penurunan dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 2,458 triliun dan tidak tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2025 yang meleset sekitar Rp 1 triliun menjadi penyebab utama tekanan fiskal tersebut. Ia mengungkapkan bahwa kondisi ini akan menjadi turbulensi jilid ketiga dalam APBD Jabar.

“Kita pernah mengalami hal serupa saat pandemi dan ketika diberlakukan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD),” ujarnya di Bandung, Kamis 23 Oktober 2025.

Daddy menjelaskan bahwa turbulensi pertama terjadi ketika pandemi Covid-19 melanda dan menyebabkan APBD Jabar terpangkas sekitar Rp 10 triliun. Sementara turbulensi kedua muncul setelah diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, yang mengurangi alokasi keuangan Jabar sekitar Rp 6 triliun.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD, terutama dari sektor pajak dan retribusi daerah. Ia menilai, dibutuhkan Peraturan Daerah (Perda) Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) yang lebih spesifik dan relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.

“Dalam perda itu, akan diatur antara lain Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan (PAP), dan berbagai retribusi daerah,” ujarnya.

Kesadaran Masyarakat dalam Pembayaran Pajak

Daddy menyoroti masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak kendaraan. Banyak kendaraan yang tercatat sebagai kendaraan belum melakukan daftar ulang (KBMDU) maupun kendaraan tidak melakukan daftar ulang (KTMDU) sehingga berpengaruh terhadap penerimaan daerah.

“Kesadaran masyarakat menjadi kunci. Pajak bukan sekadar kewajiban, tapi partisipasi nyata dalam pembangunan. Tanpa itu, daya dukung fiskal daerah akan terus melemah,” ucap Daddy.

Ia menambahkan bahwa DPRD akan terus mendorong dialog antara wakil rakyat dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran pajak di Jawa Barat.

“Dengan partisipasi masyarakat yang lebih tinggi, kemampuan pemerintah daerah untuk melakukan percepatan pembangunan di berbagai sektor akan meningkat,” tuturnya.

Fenomena Dana Mengendap di Kas Pemerintah Daerah

Sementara itu, terkait polemik dana mengendap di kas pemerintah daerah, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Giri Ahmad Taufik menilai, dana tersebut sebetulnya bukan uang mengendap, melainkan bagian dari siklus serapan anggaran yang wajar terjadi menjelang akhir tahun.

Menurut Giri, fenomena penumpukan dana kas di daerah lebih disebabkan oleh permasalahan struktural dalam sistem keuangan dan pengadaan barang serta jasa.

“Dalam proyek konstruksi atau pengadaan besar, pembayaran terbesar hampir selalu terjadi pada termin terakhir di kuartal IV. Jadi, dana yang tampak mengendap sebenarnya sudah dialokasikan untuk kegiatan yang sedang berjalan,” ujarnya di Bandung, Kamis 23 Oktober 2025.

Ia menambahkan bahwa keterlambatan penyerapan anggaran di awal tahun juga disebabkan oleh ketidaksesuaian antara penerimaan kas dan tahapan pelaksanaan program daerah.

“Banyak daerah baru bisa mengeksekusi kegiatan setelah pendapatan terealisasi pada paruh kedua tahun berjalan melalui APBD Perubahan. Jadi, perlambatan belanja di awal tahun bukan karena kelalaian, tapi karena desain fiskal yang tidak sinkron,” kata Giri.

Lebih jauh, Giri menilai, pola serapan anggaran seperti ini bukan hanya terjadi di daerah, tetapi juga di tingkat pusat. Pemerintah pusat pun, menurutnya, memiliki kecenderungan menumpuk belanja modal dan kegiatan strategis di akhir tahun anggaran.

“Menyalahkan daerah tanpa melihat struktur fiskal nasional adalah penyederhanaan yang keliru. Masalahnya bukan pada perilaku pemerintah daerah, tetapi pada desain sistem fiskal itu sendiri. Kalau pusat ingin bicara disiplin fiskal, maka disiplin itu harus dimulai dari atas,” ungkapnya.