PARLEMENTARIA.ID –
Dari Cikal Bakal Hingga Pilar Demokrasi Lokal: Mengarungi Sejarah Perkembangan DPRD di Indonesia
Pernahkah Anda bertanya-tanya, siapa yang membuat peraturan tentang retribusi sampah di kota Anda? Atau siapa yang menyetujui anggaran pembangunan jalan di kabupaten Anda? Jawabannya seringkali bermuara pada satu lembaga penting: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lebih dari sekadar gedung megah dengan para wakil rakyat di dalamnya, DPRD adalah jantung demokrasi lokal, tempat aspirasi masyarakat disuarakan dan kebijakan daerah dirumuskan.
Namun, perjalanan DPRD untuk menjadi seperti sekarang ini tidaklah instan. Ia adalah hasil dari evolusi panjang yang sarat makna, melalui berbagai rezim, tantangan, dan perubahan mendasar. Mari kita selami bersama sejarah perkembangannya, dari cikal bakal di era kolonial hingga menjadi pilar demokrasi lokal di era reformasi.
Awal Mula: Cikal Bakal di Era Kolonial (Sebelum 1945)
Jauh sebelum Indonesia merdeka, benih-benih lembaga perwakilan di tingkat lokal sudah mulai ditanam oleh pemerintah kolonial Belanda. Tentu saja, tujuannya bukan untuk kedaulatan rakyat, melainkan lebih pada efisiensi administrasi dan legitimasi semu.
Pada awalnya, terdapat Gemeenteraad (Dewan Kota) dan Provinciale Raad (Dewan Provinsi) yang dibentuk di beberapa wilayah. Anggotanya didominasi oleh orang-orang Belanda dan golongan bangsawan pribumi yang pro-kolonial. Peran mereka sangat terbatas, seringkali hanya sebagai penasihat atau pelaksana kebijakan dari pemerintah kolonial. Representasi rakyat biasa, apalagi pribumi, sangatlah minim dan sarat diskriminasi.
Meskipun demikian, keberadaan dewan-dewan ini menjadi preseden penting. Mereka memperkenalkan konsep "dewan" atau "badan perwakilan" sebagai bagian dari sistem pemerintahan, meskipun dengan kekuasaan yang sangat terbatas dan tidak mencerminkan aspirasi rakyat sesungguhnya. Lembaga ini menjadi "laboratorium" awal bagi para pejuang kemerdekaan untuk memahami dinamika politik dan pemerintahan, yang kelak akan mereka sempurnakan dalam negara yang merdeka.
Era Kemerdekaan dan Demokrasi Parlementer: Fondasi Awal (1945-1959)
Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menandai babak baru. Para pendiri bangsa segera menyadari pentingnya lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Amanat Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang asli secara jelas menyebutkan adanya "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Langkah konkret pertama adalah pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945. KNIP ini tidak hanya berfungsi sebagai badan legislatif pusat, tetapi juga mendorong pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. KNID inilah yang menjadi cikal bakal DPRD di era kemerdekaan. Fungsinya pada masa itu sangat krusial, yaitu membantu kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan dan menyalurkan aspirasi rakyat di tengah gejolak revolusi.
Pada tahun 1948, diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menjadi tonggak penting karena secara resmi mengatur pembentukan dan fungsi DPRD. Meskipun pada praktiknya implementasi otonomi daerah dan fungsi DPRD masih terbatas karena kondisi perang dan pembentukan negara yang belum stabil, UU ini menegaskan komitmen Indonesia terhadap prinsip desentralisasi dan pemerintahan daerah yang demokratis.
Memasuki era Demokrasi Parlementer (1950-1959), terjadi perubahan konstitusi menjadi UUD Sementara 1950. Dalam periode ini, DPRD mulai mengambil bentuk yang lebih jelas dengan sistem multipartai. Pemilihan umum pertama pada tahun 1955 tidak hanya memilih anggota DPR pusat, tetapi juga DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ini adalah momen bersejarah di mana rakyat secara langsung memilih wakil mereka di daerah, memberikan legitimasi yang kuat bagi DPRD. Mereka memiliki peran dalam menyusun peraturan daerah (Perda) dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah.
Orde Lama: Demokrasi Terpimpin dan Sentralisasi Kekuasaan (1959-1966)
Perjalanan DPRD kembali menghadapi tantangan besar saat Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin, yang ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan kembalinya UUD 1945 yang asli. Presiden Soekarno mengambil kendali pemerintahan yang lebih besar, dan prinsip sentralisasi kekuasaan menjadi dominan.
DPRD, seperti lembaga legislatif lainnya, mengalami kemunduran dalam fungsi dan kewenangannya. Pengangkatan anggota DPRD mulai banyak dilakukan oleh kepala daerah atau pusat, mengurangi legitimasi politik hasil pemilihan umum. Peran pengawasan dan legislasi DPRD menjadi sangat terbatas, seringkali hanya menjadi "cap stempel" bagi kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah pusat atau kepala daerah yang ditunjuk.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah memang masih mengakui keberadaan DPRD, namun semangat otonomi daerah yang pernah digaungkan di awal kemerdekaan menjadi semakin pudar. Kekuasaan eksekutif begitu dominan, dan lembaga legislatif daerah cenderung kehilangan gigi. Periode ini menjadi masa suram bagi kemandirian dan efektivitas DPRD.
Orde Baru: Kontrol Ketat dan Fungsi "Rubber Stamp" (1966-1998)
Setelah pergantian rezim ke Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, nasib DPRD tidak banyak berubah, bahkan bisa dikatakan semakin terkontrol. Orde Baru dikenal dengan stabilitas politik yang ketat dan pembangunan ekonomi yang terpusat. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga negara, termasuk DPRD, didesain untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menjadi landasan hukum utama pada masa ini. UU ini, meskipun secara teoretis memberikan ruang bagi otonomi daerah, pada praktiknya sangat membatasi gerak DPRD. Partai Golkar, sebagai partai politik dominan yang didukung penuh oleh pemerintah, selalu memenangkan mayoritas kursi di setiap DPRD, dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Anggota DPRD pada masa Orde Baru seringkali dianggap sebagai "rubber stamp" atau stempel karet bagi kebijakan pemerintah daerah. Fungsi pengawasan mereka sangat lemah, dan inisiatif legislasi dari DPRD sendiri jarang terjadi. Kepala daerah memiliki kekuatan yang sangat besar, dan DPRD cenderung berfungsi sebagai perpanjangan tangan eksekutif daripada sebagai penyeimbang kekuasaan. Diskusi-diskusi di dalam dewan cenderung seragam, dan kritik terhadap kebijakan pemerintah sangat jarang terdengar. Masyarakat pun memiliki harapan yang rendah terhadap kemampuan DPRD untuk benar-benar menyuarakan aspirasi mereka.
Era Reformasi: Kebangkitan dan Tantangan Baru (1998-Sekarang)
Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 membuka babak baru yang paling revolusioner bagi perkembangan DPRD. Era Reformasi membawa semangat desentralisasi, demokratisasi, dan akuntabilitas. DPRD, yang sebelumnya terkekang, mendapatkan kembali perannya sebagai pilar demokrasi lokal yang sesungguhnya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah landasan hukum yang paling signifikan di awal Reformasi. UU ini secara drastis mengubah lanskap pemerintahan daerah dengan memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah. DPRD mendapatkan kewenangan yang sangat besar:
- Legislasi: DPRD berhak sepenuhnya menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) bersama kepala daerah.
- Anggaran: DPRD memiliki kewenangan penuh dalam membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
- Pengawasan: DPRD melakukan pengawasan yang ketat terhadap jalannya pemerintahan daerah dan pelaksanaan kebijakan kepala daerah.
- Pemilihan Kepala Daerah: Pada awal Reformasi, DPRD bahkan memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota).
Perubahan ini memberikan dampak luar biasa. DPRD yang tadinya pasif, kini menjadi sangat aktif dan memiliki daya tawar yang tinggi. Dinamika politik lokal menjadi lebih hidup, dengan munculnya berbagai fraksi partai dan perdebatan yang lebih terbuka. Rakyat pun mulai memiliki harapan yang lebih besar terhadap DPRD sebagai penyalur aspirasi mereka.
Namun, kebangkitan ini juga datang dengan tantangan. Peningkatan kewenangan yang mendadak terkadang tidak diimbangi dengan kapasitas dan integritas anggota dewan. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD menjadi sorotan publik, mencoreng citra lembaga ini.
Kemudian, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi beberapa penyesuaian penting:
- Pilkada Langsung: Kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah dicabut dan diganti dengan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) oleh rakyat. Ini mengubah dinamika hubungan antara kepala daerah dan DPRD, di mana keduanya memiliki legitimasi yang sama kuat dari rakyat.
- Peran Pengawasan Diperkuat: Meskipun tidak lagi memilih kepala daerah, peran pengawasan DPRD justru semakin diperkuat, dengan mekanisme yang lebih jelas untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah.
- Fungsi Legislasi dan Anggaran Tetap Vital: DPRD tetap memegang kendali penuh dalam pembentukan Perda dan persetujuan APBD, menjadikannya kunci dalam arah pembangunan dan tata kelola daerah.
DPRD saat ini adalah lembaga yang jauh lebih kuat dan mandiri dibandingkan era-era sebelumnya. Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum, memberikan mereka legitimasi yang tak terbantahkan. Mereka bertugas menyusun Perda yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, mengawasi kinerja eksekutif daerah, dan membahas serta menyetujui anggaran yang akan digunakan untuk pembangunan daerah.
Meskipun demikian, tantangan tetap ada. Isu-isu seperti rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu lokal, kapasitas anggota dewan yang bervariasi, potensi konflik kepentingan, dan masih adanya kasus korupsi, terus menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan kapasitas anggota DPRD adalah kunci untuk memastikan bahwa lembaga ini benar-benar berfungsi sebagai jembatan aspirasi rakyat dan penjaga marwah demokrasi di tingkat lokal.
Kesimpulan: Sebuah Perjalanan Penuh Makna
Sejarah perkembangan DPRD di Indonesia adalah cerminan dari perjalanan panjang bangsa ini dalam membangun demokrasi. Dari sekadar "cap stempel" di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial dan sentralistik, hingga menjelma menjadi pilar utama demokrasi lokal yang memiliki kewenangan signifikan.
DPRD bukan hanya sekumpulan orang yang bersidang di gedung mewah. Mereka adalah perwakilan kita, suara kita di tingkat daerah, yang memiliki kekuatan untuk membentuk kebijakan yang secara langsung mempengaruhi hidup kita sehari-hari. Memahami sejarahnya membantu kita menghargai perjuangan untuk mendirikan dan mempertahankan lembaga ini, sekaligus menyadarkan kita akan pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam mengawasi dan mendukung kinerja para wakil rakyat daerah.
Perjalanan DPRD masih terus berlanjut. Dengan semakin matangnya demokrasi Indonesia, diharapkan DPRD akan terus bertransformasi menjadi lembaga yang semakin responsif, transparan, akuntabel, dan benar-benar menjadi corong aspirasi rakyat demi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Mari kita terus mengawal dan mendukungnya, karena masa depan daerah kita ada di tangan mereka, dan pilihan kita ada di tangan kita.