Kategori
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SERBA-SERBI SISTEM PARLEMEN

Bagaimana Fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan DPRD Bekerja?

Membedah Tiga Pilar Kekuasaan: Bagaimana Fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan DPRD Bekerja?

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa di kota Anda tiba-tiba ada aturan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day)? Atau mengapa alokasi dana untuk perbaikan jalan di kabupaten Anda terasa lebih besar tahun ini? Di balik setiap kebijakan dan alokasi dana di tingkat daerah, ada peran sentral sebuah lembaga yang sering kita dengar namanya, namun mungkin belum sepenuhnya kita pahami cara kerjanya: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

DPRD, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, adalah jantung demokrasi lokal. Mereka bukan sekadar “tukang stempel” kebijakan kepala daerah, melainkan mitra sekaligus pengawas yang memegang tiga pilar kekuasaan krusial: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi ini saling terkait dan menentukan arah pembangunan serta kualitas hidup masyarakat di suatu daerah.

Artikel ini akan membawa Anda menyelami lebih dalam bagaimana ketiga fungsi tersebut bekerja dalam praktik, lengkap dengan contoh nyata, studi kasus, dan tantangan yang dihadapinya. Mari kita bedah satu per satu.

Mengenal DPRD: Wakil Rakyat di Panggung Lokal

Sebelum masuk ke fungsinya, penting untuk memahami posisi DPRD. Mereka adalah lembaga legislatif di daerah yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Kedudukannya setara dengan Pemerintah Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Hubungan mereka bersifat kemitraan, di mana keduanya bekerja sama untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah demi kesejahteraan rakyat.

Namun, kemitraan ini tidak berarti tanpa kontrol. DPRD memegang mandat untuk memastikan bahwa kekuasaan eksekutif tidak absolut dan setiap rupiah uang rakyat digunakan secara tepat sasaran. Di sinilah tiga fungsi utama mereka berperan sebagai fondasi.

Pilar Pertama: Fungsi Legislasi – Merancang Aturan Main Daerah

Fungsi legislasi adalah kewenangan DPRD untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda) bersama dengan kepala daerah. Anggap saja Perda ini sebagai “undang-undang” di tingkat lokal yang menjadi landasan hukum bagi seluruh penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di daerah tersebut.

Bagaimana Prosesnya Bekerja?

Pembentukan sebuah Perda bukanlah proses yang singkat dan sederhana. Ia melewati serangkaian tahapan yang dirancang untuk memastikan kualitas dan partisipasi publik.

  1. Inisiatif dan Perencanaan: Usulan sebuah Perda bisa datang dari dua pihak: DPRD (disebut Hak Inisiatif) atau dari Kepala Daerah. Semua usulan ini dirangkum dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) yang disusun setiap tahun.
  2. Penyusunan Naskah Akademik: Ini adalah langkah krusial. Sebelum draf pasal-pasal disusun, harus ada Naskah Akademik. Dokumen ini berisi kajian ilmiah, sosiologis, filosofis, dan yuridis mengenai urgensi dan materi yang akan diatur dalam Perda. Tanpa Naskah Akademik yang kuat, Perda berisiko cacat secara substansi.
  3. Pembahasan Bersama: Draf Perda (Raperda) kemudian dibahas antara DPRD dan pihak eksekutif. Di DPRD, pembahasan ini biasanya dilakukan oleh komisi-komisi terkait atau Panitia Khusus (Pansus). Di sinilah “pertarungan” ide dan gagasan terjadi.
    • Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU): DPRD akan mengundang akademisi, praktisi, LSM, dan perwakilan masyarakat untuk meminta masukan. Ini adalah gerbang utama partisipasi publik.
    • Studi Banding: Terkadang, DPRD melakukan studi banding ke daerah lain yang sudah memiliki Perda serupa untuk belajar dari keberhasilan atau kegagalan mereka.
  4. Persetujuan Bersama: Setelah melalui pembahasan alot dan menyerap berbagai masukan, Raperda dibawa ke Rapat Paripurna untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah.
  5. Evaluasi dan Pengesahan: Raperda yang telah disetujui akan dievaluasi. Raperda Kabupaten/Kota dievaluasi oleh Gubernur, sementara Raperda Provinsi oleh Kementerian Dalam Negeri. Tujuannya adalah untuk memastikan Perda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum, atau Perda lainnya. Setelah lolos, barulah Perda tersebut disahkan dan diundangkan.

Studi Kasus: Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Banyak daerah di Indonesia telah memiliki Perda KTR. Prosesnya menggambarkan fungsi legislasi secara nyata:

  • Inisiatif: Bisa datang dari Komisi Kesehatan DPRD yang prihatin dengan dampak rokok terhadap kesehatan publik.
  • Naskah Akademik: Melibatkan pakar kesehatan masyarakat untuk menyajikan data tentang prevalensi penyakit akibat rokok di daerah tersebut.
  • Pembahasan: DPRD mengundang pengelola gedung, pemilik restoran, dan komunitas untuk membahas di mana saja KTR akan diterapkan. Terjadi perdebatan antara kepentingan kesehatan publik dan kepentingan ekonomi pengusaha.
  • Hasil: Lahirlah Perda yang mengatur zona larangan merokok seperti di fasilitas kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum, lengkap dengan sanksinya. Perda ini secara langsung mengubah perilaku sosial dan meningkatkan kualitas udara di ruang publik.

Pilar Kedua: Fungsi Anggaran – Menentukan Arah Pembangunan

Jika legislasi adalah membuat aturan main, maka fungsi anggaran (budgeting) adalah menentukan bagaimana “uang” daerah dialokasikan untuk menjalankan aturan tersebut. DPRD memiliki wewenang untuk membahas dan memberikan persetujuan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang diajukan oleh kepala daerah.

APBD adalah nyawa dari pemerintahan daerah. Tanpa persetujuan DPRD, pemerintah daerah tidak bisa membelanjakan satu sen pun uang rakyat.

Bagaimana Prosesnya Bekerja?

Proses penganggaran adalah arena negosiasi politik yang paling intens di DPRD. Setiap fraksi dan anggota dewan berjuang untuk memastikan aspirasi dari daerah pemilihannya terakomodasi.

  1. Penyusunan KUA-PPAS: Proses dimulai jauh sebelum tahun anggaran berjalan. Pemerintah Daerah menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Dokumen ini berisi arah kebijakan dan pagu anggaran untuk setiap program.
  2. Pembahasan di Badan Anggaran (Banggar): KUA-PPAS diserahkan kepada DPRD dan dibahas secara mendalam oleh Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Di sinilah terjadi “tarik-ulur” pertama. DPRD akan mempertanyakan, “Mengapa prioritasnya pembangunan jembatan, bukan perbaikan sekolah?” atau “Mengapa alokasi untuk pertanian hanya sekian persen?”
  3. Pembahasan di Komisi-Komisi: Setelah KUA-PPAS disepakati, Pemerintah Daerah menyusun RAPBD secara lebih rinci. Draf ini kemudian dibahas di tingkat komisi-komisi DPRD sesuai bidangnya (misalnya, Komisi A membahas anggaran untuk pemerintahan, Komisi B untuk ekonomi, dll.).
  4. “Penyisiran” Anggaran: Inilah tahap paling detail. Anggota dewan akan “menyisir” setiap mata anggaran. Mereka bisa mempertanyakan hal-hal spesifik seperti biaya perjalanan dinas yang dianggap terlalu besar, anggaran pengadaan ATK yang tidak wajar, atau meminta penambahan alokasi untuk program pemberdayaan UMKM.

Contoh Nyata: Alokasi Dana Pendidikan 20%
Amanat konstitusi mengharuskan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari total APBD. Dalam praktiknya, DPRD berperan krusial:

  • Data: Misalkan APBD sebuah kabupaten adalah Rp 2 triliun. Maka, minimal Rp 400 miliar harus dialokasikan untuk pendidikan.
  • Peran DPRD: DPRD akan memastikan angka ini terpenuhi. Lebih dari itu, mereka akan mengkritisi rinciannya. Dari Rp 400 miliar itu, berapa untuk gaji guru honorer? Berapa untuk rehabilitasi gedung sekolah rusak? Berapa untuk pengadaan buku gratis? Di sinilah kualitas fungsi anggaran DPRD diuji, bukan hanya soal kuantitas, tapi juga kualitas alokasi.

Proses ini seringkali diwarnai lobi politik, namun idealnya, semua keputusan didasarkan pada data kebutuhan riil di masyarakat.

Pilar Ketiga: Fungsi Pengawasan – Memastikan Roda Pemerintahan Berjalan di Jalur yang Benar

Membuat aturan (legislasi) dan mengalokasikan dana (anggaran) tidak ada artinya jika pelaksanaannya tidak diawasi. Di sinilah fungsi pengawasan (controlling) berperan sebagai pilar pamungkas. DPRD bertugas mengawasi pelaksanaan Perda dan APBD oleh pemerintah daerah.

Bagaimana Alat Pengawasan DPRD Bekerja?

DPRD memiliki beberapa “senjata” atau instrumen untuk menjalankan fungsi pengawasannya:

  1. Rapat Dengar Pendapat (RDP): Ini adalah instrumen yang paling umum digunakan. Komisi-komisi di DPRD dapat memanggil Kepala Dinas atau kepala badan terkait untuk meminta penjelasan mengenai suatu isu. Misalnya, Komisi C memanggil Kepala Dinas Pekerjaan Umum untuk menanyakan progres pembangunan jalan yang lambat.
  2. Kunjungan Kerja (Kunker): Anggota dewan turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi riil. Misalnya, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke proyek pembangunan rumah sakit yang didanai APBD untuk memastikan kualitas bangunan sesuai spesifikasi.
  3. Hak Interpelasi: Ini adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas. Misalnya, jika pemerintah daerah tiba-tiba mengeluarkan kebijakan relokasi pasar tanpa sosialisasi yang memadai.
  4. Hak Angket: Instrumen yang lebih kuat. Ini adalah hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/peraturan daerah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penggunaan hak angket bisa berujung pada usulan pemberhentian kepala daerah jika terbukti ada pelanggaran serius.
  5. Pemandangan Umum Fraksi atas LKPJ: Setiap tahun, Kepala Daerah wajib menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD. Melalui pandangan umum fraksi-fraksi, DPRD akan memberikan catatan, kritik, dan rekomendasi strategis atas kinerja pemerintah selama satu tahun.

Studi Kasus: Pengawasan Proyek Gagal
Di sebuah kota, dilaporkan bahwa proyek pembangunan taman kota senilai Rp 5 miliar mangkrak. Apa yang bisa dilakukan DPRD?

  • Langkah 1 (RDP): Komisi terkait memanggil Kepala Dinas Lingkungan Hidup untuk meminta kronologi dan penjelasan mengapa proyek berhenti.
  • Langkah 2 (Kunker): Anggota dewan mengunjungi lokasi proyek untuk melihat langsung kondisi fisik bangunan yang terbengkalai.
  • Langkah 3 (Pansus): Jika masalahnya kompleks dan melibatkan dugaan korupsi, DPRD bisa membentuk Pansus untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam, bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
  • Hasil: Temuan dari pengawasan ini bisa menjadi dasar untuk tidak mengalokasikan anggaran lanjutan pada APBD berikutnya, memberikan rekomendasi sanksi kepada dinas terkait, atau bahkan melaporkannya ke pihak berwajib.

Sinergi dan Tantangan: Tiga Fungsi yang Saling Terkait

Ketiga fungsi ini tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling terkait dalam sebuah siklus:

  • Hasil pengawasan terhadap APBD tahun lalu menjadi input penting untuk proses anggaran tahun ini.
  • Masalah yang ditemukan saat pengawasan bisa mendorong lahirnya sebuah Perda baru melalui fungsi legislasi.
  • Pelaksanaan Perda hasil legislasi dan APBD hasil anggaran akan selalu berada di bawah “mata” pengawasan.

Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan ketiga fungsi ini menghadapi banyak tantangan, seperti:

  • Kapasitas Anggota DPRD: Tidak semua anggota dewan memiliki pemahaman teknis yang mendalam tentang hukum atau anggaran.
  • Dominasi Eksekutif: Terkadang, eksekutif yang memiliki sumber daya (data, ahli, birokrasi) lebih dominan dalam proses.
  • Intervensi Politik: Kepentingan partai atau kelompok dapat mengalahkan kepentingan publik.
  • Rendahnya Partisipasi Publik: Masyarakat yang apatis membuat DPRD kehilangan sumber masukan dan kontrol sosial yang penting.

Kesimpulan: DPRD Kuat, Rakyat Sejahtera – Peran Kita Sebagai Warga

Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan adalah tiga pilar yang menopang peran DPRD sebagai wakil rakyat. Ketika ketiganya berjalan optimal, DPRD menjadi lembaga yang efektif dalam merancang aturan yang adil, mengalokasikan anggaran yang pro-rakyat, dan mengawasi jalannya pemerintahan dengan ketat.

Keberhasilan DPRD tidak hanya bergantung pada para anggotanya, tetapi juga pada kita sebagai warga. Dengan aktif mengikuti RDPU, memberikan masukan terhadap Raperda, memantau penggunaan APBD melalui media atau LSM, dan berkomunikasi dengan wakil rakyat kita, kita turut serta memperkuat ketiga pilar tersebut.

Pada akhirnya, DPRD yang kuat, kritis, dan aspiratif adalah cerminan dari masyarakat yang peduli. Dan DPRD yang berfungsi dengan baik adalah kunci menuju pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, dan mensejahterakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *