Membongkar “Dapur” Negara: Panduan Lengkap Langkah-Langkah Membuat Undang-Undang di Indonesia
Pernahkah Anda bertanya-tanya, bagaimana sebuah aturan yang mengatur jutaan orang, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau aturan tentang lalu lintas, bisa tercipta? Prosesnya tidak sesederhana membalik telapak tangan. Di balik setiap pasal yang kita baca, ada sebuah perjalanan panjang, penuh perdebatan, riset, dan lobi politik yang kompleks.
Memahami proses ini bukan hanya urusan para politisi atau mahasiswa hukum. Ini adalah bagian fundamental dari edukasi politik bagi setiap warga negara, bahkan sejak dini. Mengetahui “dapur” legislasi negara membuat kita menjadi warga yang lebih cerdas, kritis, dan berdaya. Kita jadi tahu di mana suara kita bisa didengar dan bagaimana mengawal sebuah kebijakan dari sekadar ide menjadi hukum yang mengikat.
Artikel ini akan membawa Anda menyelami setiap tahapan dalam proses pembuatan undang-undang di Indonesia secara runut, mudah dipahami, dan dilengkapi dengan contoh nyata. Mari kita mulai perjalanan ini!
Aktor Utama di Panggung Legislasi: Siapa Saja Pemainnya?
Sebelum masuk ke langkah-langkahnya, kita perlu kenal dulu dengan para aktor utamanya. Ibarat sebuah drama, proses legislasi memiliki tiga pemain kunci yang perannya diatur oleh konstitusi:
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR): Sebagai lembaga legislatif, DPR memegang “kekuasaan membentuk undang-undang”. Merekalah wakil rakyat yang bertugas merancang, membahas, dan menyetujui sebuah rancangan undang-undang (RUU).
- Presiden (Pemerintah): Meskipun merupakan lembaga eksekutif, Presiden memiliki hak untuk mengajukan RUU kepada DPR. Selain itu, setiap RUU yang dibahas di DPR harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Tanpa “lampu hijau” dari kedua belah pihak, sebuah RUU tidak akan bisa menjadi UU.
- Dewan Perwakilan Daerah (DPD): DPD memiliki peran yang lebih spesifik. Mereka dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, serta pengelolaan sumber daya alam. Namun, peran mereka terbatas pada pengajuan dan ikut membahas, tanpa hak untuk ikut dalam pengambilan keputusan (persetujuan akhir).
Ketiga aktor inilah yang akan berkolaborasi dan terkadang beradu argumen dalam panggung yang kita sebut proses legislasi.
Peta Jalan Legislasi: 5 Tahapan Utama dari Ide Menjadi Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (dan perubahannya), proses pembuatan UU dapat dibagi menjadi lima tahapan besar.
Tahap 1: Perencanaan (Prolegnas – Program Legislasi Nasional)
Ini adalah gerbang pertama. Tidak semua ide bisa langsung dibuatkan undang-undang. Pemerintah dan DPR harus membuat sebuah “daftar prioritas” atau “peta jalan” legislasi yang disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
- Apa itu Prolegnas? Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Ada Prolegnas Jangka Menengah (5 tahun) dan Prolegnas Prioritas Tahunan.
- Siapa yang Menyusun? Prolegnas disusun bersama oleh DPR, Pemerintah, dan DPD. RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahunan inilah yang akan menjadi fokus utama untuk dibahas dalam satu tahun berjalan.
- Analogi Sederhana: Bayangkan Prolegnas seperti daftar belanjaan tahunan sebuah keluarga. Sebelum pergi ke pasar (membahas RUU), keluarga (DPR & Pemerintah) berdiskusi dulu untuk menentukan barang apa saja yang paling penting untuk dibeli tahun ini agar anggarannya efisien dan kebutuhannya terpenuhi.
Tahap 2: Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Setelah sebuah RUU masuk dalam Prolegnas, tahap penyusunan pun dimulai. RUU bisa berasal dari usul inisiatif DPR, Presiden, atau DPD (untuk isu-isu tertentu).
- Naskah Akademik: Fondasi Ilmiah sebuah RUU. Idealnya, setiap RUU harus disertai dengan Naskah Akademik. Ini adalah dokumen hasil penelitian atau pengkajian hukum dan ilmiah mengenai suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Naskah Akademik berisi latar belakang, landasan filosofis, sosiologis, yuridis, serta jangkauan dan arah pengaturan. Ini adalah “otak” di balik sebuah RUU. Sayangnya, dalam praktiknya, beberapa RUU yang dibahas kilat terkadang mengabaikan kedalaman Naskah Akademik ini.
- Partisipasi Publik Dimulai: Di tahap inilah seharusnya partisipasi publik mulai dibuka. Para penyusun (baik dari kementerian/lembaga pemerintah maupun dari badan keahlian DPR) mengumpulkan masukan dari para ahli, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok terdampak.
Tahap 3: Pembahasan di Parlemen
Inilah jantung dari proses legislasi, di mana sebuah RUU “digodok” habis-habisan. Proses pembahasan ini dilakukan dalam dua tingkat pembicaraan.
- Pembicaraan Tingkat I: Pertarungan di Ruang Komisi/Badan Legislasi.
- RUU yang diajukan akan dibahas di alat kelengkapan dewan yang relevan (misalnya, RUU Pendidikan dibahas di Komisi X, RUU Keuangan di Komisi XI) atau dalam Panitia Khusus (Pansus) yang dibentuk untuk RUU tertentu.
- Dalam forum ini, perwakilan DPR dan perwakilan Pemerintah (biasanya menteri terkait) akan duduk bersama. Mereka akan membahas RUU pasal per pasal, kata per kata. Di sinilah terjadi perdebatan sengit, lobi, negosiasi, dan penyisipan atau penghapusan ayat.
- Di tahap ini pula, DPR sering mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), mengundang berbagai pihak untuk memberikan masukan langsung.
- Pembicaraan Tingkat II: Momen Pengambilan Keputusan Final.
- Setelah disepakati di Tingkat I, RUU dibawa ke Rapat Paripurna DPR.
- Di sini, fraksi-fraksi akan menyampaikan pandangan akhir mereka. Apakah mereka menerima atau menolak RUU tersebut untuk disahkan menjadi UU.
- Keputusan diambil melalui musyawarah untuk mufakat. Jika mufakat tidak tercapai, barulah dilakukan pemungutan suara (voting). Jika mayoritas anggota yang hadir setuju, maka RUU tersebut dinyatakan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Studi Kasus Singkat: Lahirnya UU Ibu Kota Negara (IKN)
Untuk membuat proses ini lebih nyata, mari kita lihat contoh UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
- Perencanaan & Penyusunan: Inisiatif datang dari Presiden Joko Widodo. RUU IKN masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Pemerintah (dipimpin Bappenas) menyusun Naskah Akademik dan draf RUU.
- Pembahasan: Karena sifatnya yang lintas sektor, RUU ini tidak dibahas di komisi, melainkan oleh sebuah Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN di DPR. Pansus ini bekerja sangat cepat, hanya dalam 42 hari. Mereka mengadakan rapat maraton dengan pemerintah dan mengundang sejumlah pakar dalam RDPU.
- Pengambilan Keputusan: Pada 18 Januari 2022, dalam Rapat Paripurna, RUU IKN disahkan menjadi Undang-Undang dengan dukungan mayoritas fraksi. Hanya Fraksi PKS yang menolak.
Kasus UU IKN menunjukkan bagaimana proses legislasi bisa dipercepat untuk proyek yang dianggap strategis oleh pemerintah dan mayoritas DPR.
Tahap 4: Pengesahan oleh Presiden
Setelah mendapat persetujuan bersama di Rapat Paripurna, RUU tersebut diserahkan kepada Presiden untuk disahkan dengan cara membubuhkan tanda tangan.
- Batas Waktu 30 Hari: Presiden memiliki waktu paling lambat 30 hari untuk menandatangani RUU tersebut sejak disetujui bersama.
- Bagaimana Jika Presiden Tidak Setuju dan Tidak Menandatangani? Di sinilah letak keunikan sistem di Indonesia. Jika dalam 30 hari Presiden tidak menandatanganinya, RUU tersebut otomatis sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Aturan ini mencegah terjadinya deadlock atau kebuntuan legislasi jika ada ketidaksepakatan di menit-menit akhir antara Presiden dan DPR.
Tahap 5: Pengundangan dan Sosialisasi
Langkah terakhir adalah pengundangan. Menteri Hukum dan HAM akan menempatkan UU yang sudah sah tersebut ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Sejak saat itulah, UU tersebut resmi berlaku dan mengikat seluruh warga negara.
Setelah diundangkan, tugas pemerintah dan DPR belum selesai. Mereka wajib melakukan sosialisasi agar masyarakat memahami isi dan maksud dari UU yang baru tersebut.
Suara Anda Penting: Celah Partisipasi Publik yang Bermakna
Konstitusi mengamanatkan adanya “partisipasi yang bermakna” (meaningful participation) dari publik. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terkait UU Cipta Kerja menegaskan tiga syarat partisipasi bermakna:
- Hak untuk didengarkan (right to be heard).
- Hak untuk dipertimbangkan (right to be considered).
- Hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to get explanation).
Bagaimana Anda bisa berpartisipasi?
- Ikuti Diskusi Publik: Pantau media sosial kementerian atau DPR yang sedang menyusun RUU. Mereka sering mengadakan seminar atau diskusi publik.
- Kirim Masukan Tertulis: Anda bisa mengirimkan kajian atau masukan melalui email resmi atau portal partisipasi publik yang disediakan (seperti situs
partisipasiku.dpr.go.id
). - Hubungi Wakil Rakyat: Sampaikan aspirasi Anda kepada anggota DPR dari daerah pemilihan Anda.
- Melalui Organisasi: Bergabung atau mendukung organisasi masyarakat sipil (CSO/NGO) yang fokus pada isu yang Anda pedulikan. Mereka biasanya memiliki akses lebih baik untuk lobi dan advokasi.
Kesimpulan: Melek Politik Dimulai dari Memahami Aturan Main
Proses pembuatan undang-undang adalah sebuah mekanisme rumit yang menjadi jantung demokrasi kita. Ini adalah arena di mana kepentingan rakyat, kalkulasi politik, dan landasan keilmuan bertemu.
Memahaminya dari tahap perencanaan (Prolegnas), penyusunan (Naskah Akademik), pembahasan sengit di parlemen, hingga pengesahan dan pengundangan, adalah langkah pertama untuk menjadi warga negara yang aktif. Ini bukan lagi sekadar pengetahuan “hafalan” untuk ujian, melainkan bekal untuk mengawal masa depan bangsa.
Ketika kita tahu bagaimana sebuah hukum dibuat, kita tidak akan lagi menjadi penonton pasif. Kita bisa mengkritik dengan basis pengetahuan, memberi masukan pada celah yang tepat, dan menuntut akuntabilitas dari para wakil yang telah kita pilih. Edukasi politik sejak dini tentang proses ini adalah investasi terbaik untuk menciptakan demokrasi Indonesia yang lebih sehat dan substantif.