Jejak Demokrasi: Perjalanan Pemilu di Indonesia dari Orde Lama hingga Reformasi

PARLEMENTARIA.ID – Pemilihan Umum (Pemilu) adalah jantung demokrasi, denyut nadi kedaulatan rakyat. Perjalanan Pemilu di Indonesia, Pemilu bukan sekadar ritual lima tahunan, melainkan sebuah cermin perjalanan panjang bangsa dalam mencari bentuk ideal pemerintahan, meneguhkan kedaulatan, dan mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Dari gegap gempita Pemilu pertama di era Orde Lama, hegemoni Orde Baru yang terstruktur, hingga gelombang reformasi yang membuka keran kebebasan, setiap Pemilu adalah babak penting yang membentuk wajah Indonesia hari ini.

Mari kita telusuri jejak demokrasi ini, sebuah narasi tentang harapan, perubahan, dan tantangan yang tak pernah usai.

I. Mengukir Sejarah: Pemilu Pertama di Era Orde Lama (1955)

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia membutuhkan legitimasi politik yang kuat, baik di mata rakyat maupun dunia internasional. Salah satu cara paling fundamental adalah melalui Pemilu. Namun, kondisi politik yang belum stabil, agresi militer Belanda, dan pergolakan internal membuat Pemilu tak bisa langsung digelar. Butuh waktu satu dekade pasca-kemerdekaan hingga akhirnya “pesta demokrasi” pertama itu bisa diselenggarakan.

Konteks dan Harapan:
Tahun 1955, Indonesia berada di bawah sistem demokrasi parlementer. Kabinet silih berganti, dan stabilitas politik menjadi barang mahal. Pemilu 1955 diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat dan stabil, serta membentuk Dewan Konstituante yang bertugas merumuskan undang-undang dasar baru. Antusiasme rakyat begitu membara. Ini adalah kali pertama mereka bisa benar-benar menggunakan hak suara untuk menentukan pemimpin dan arah negara.

Pelaksanaan Pemilu 1955:
Pemilu 1955 dibagi menjadi dua tahap:

  1. 29 September 1955: Untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  2. 15 Desember 1955: Untuk memilih anggota Dewan Konstituante.

Pemilu ini dianggap sebagai salah satu Pemilu paling jujur dan adil dalam sejarah Indonesia. Pemerintah, dengan dukungan penuh dari rakyat, berhasil menyelenggarakan Pemilu yang kompleks di tengah keterbatasan infrastruktur dan kondisi geografis yang menantang. Lebih dari 172 partai politik dan organisasi ikut serta, menunjukkan betapa dinamisnya lanskap politik saat itu.

Hasil dan Dampak:
Empat partai besar mendominasi hasil Pemilu 1955:

  • Partai Nasional Indonesia (PNI)
  • Masyumi
  • Nahdlatul Ulama (NU)
  • Partai Komunis Indonesia (PKI)

Meskipun menghasilkan DPR dan Konstituante yang representatif, Pemilu 1955 tidak serta-merta membawa stabilitas yang diharapkan. Dewan Konstituante gagal merumuskan UUD baru karena perbedaan ideologi yang tajam. Kondisi ini memuncak pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945, dan menandai berakhirnya era Demokrasi Parlementer, digantikan oleh Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

Pemilu 1955 tetap menjadi monumen penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, sebuah bukti bahwa di tengah segala keterbatasan, semangat kedaulatan rakyat bisa diwujudkan. Namun, ia juga menjadi pengingat betapa rapuhnya sebuah demokrasi jika tidak diiringi dengan konsensus dan kematangan politik.

II. Demokrasi Prosedural: Pemilu di Era Orde Baru (1971-1997)

Kejatuhan Orde Lama dan bangkitnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto membawa perubahan fundamental dalam sistem politik Indonesia, termasuk penyelenggaraan Pemilu. Jika Pemilu 1955 adalah perayaan kebebasan, Pemilu di era Orde Baru lebih berfungsi sebagai instrumen legitimasi kekuasaan dan stabilitas yang terpusat.

Karakteristik Utama Pemilu Orde Baru:

  1. Penyederhanaan Partai Politik:
    Dari ratusan partai di era 1955, Orde Baru memangkasnya menjadi hanya tiga kontestan Pemilu:
    • Golongan Karya (Golkar): Bukan partai politik murni, melainkan “golongan fungsional” yang menjadi kendaraan politik utama rezim. Golkar didukung penuh oleh birokrasi, militer (ABRI), dan aparat negara.
    • Partai Persatuan Pembangunan (PPP): Fusi dari partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, Perti).
    • Partai Demokrasi Indonesia (PDI): Fusi dari partai-partai nasionalis dan Kristen (PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI).
      Penyederhanaan ini dimaksudkan untuk mengurangi fragmentasi politik dan menciptakan stabilitas.
  2. Azas “Massa Mengambang”:
    Pemerintah Orde Baru menerapkan konsep “massa mengambang” (floating mass), yang berarti masyarakat desa dan sebagian masyarakat kota “dilarang” berpolitik praktis kecuali pada saat Pemilu. Tujuannya adalah meminimalkan mobilisasi politik di luar jadwal Pemilu dan menjaga fokus pada pembangunan ekonomi.
  3. Dominasi Golkar yang Tak Terbantahkan:
    Sejak Pemilu pertama Orde Baru pada 1971 hingga 1997, Golkar selalu keluar sebagai pemenang mutlak dengan perolehan suara di atas 60%, bahkan mencapai 70% lebih. Kemenangan ini didukung oleh berbagai faktor:
    • Dukungan Aparat Negara: Militer dan birokrasi secara terang-terangan diarahkan untuk mendukung Golkar. PNS wajib menjadi anggota Korpri, yang berafiliasi dengan Golkar.
    • Sistem Satu Kursi di Pemilu: Sistem ini cenderung menguntungkan partai besar.
    • Pemanfaatan Sumber Daya Negara: Dana dan fasilitas negara seringkali digunakan untuk kampanye Golkar.
    • Kontrol Media Massa: Pemberitaan media sangat terbatas dan cenderung menguntungkan Golkar.
    • Pencitraan Pembangunan: Golkar mengklaim sebagai motor pembangunan dan stabilitas ekonomi.
  4. Kampanye dan Mobilisasi yang Terbatas:
    Meskipun Pemilu diadakan secara berkala (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), kampanye dibatasi waktu dan ruang lingkupnya. Partai oposisi (PPP dan PDI) seringkali menghadapi hambatan, intimidasi, dan pengawasan ketat. Isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dilarang keras untuk dikampanyekan, yang pada praktiknya juga membatasi ruang gerak partai berbasis agama atau etnis.

Dampak Pemilu Orde Baru:
Pemilu di era Orde Baru berhasil menciptakan stabilitas politik yang panjang, yang di satu sisi mendukung program pembangunan ekonomi. Namun, di sisi lain, ia mengorbankan demokrasi substantif. Rakyat memiliki hak pilih, tetapi pilihan mereka sangat terbatas, dan hasilnya nyaris dapat diprediksi. Ketiadaan kompetisi yang sehat menyebabkan stagnasi politik, kurangnya akuntabilitas, dan akhirnya memicu akumulasi ketidakpuasan yang meledak pada akhir 1990-an.

Puncak dari ketidakpuasan ini adalah Pemilu 1997, yang digelar di tengah krisis ekonomi dan politik yang parah. Golkar kembali menang telak, namun kemenangan itu tak mampu membendung gelombang reformasi yang dipicu oleh demonstrasi mahasiswa dan tekanan publik, yang akhirnya berujung pada lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998.

III. Fajar Demokrasi Baru: Pemilu di Era Reformasi (1999-Sekarang)

Jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998 membuka lembaran baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Era Reformasi membawa semangat kebebasan, transparansi, dan partisipasi yang lebih luas, yang secara fundamental mengubah wajah Pemilu di Indonesia.

A. Pemilu 1999: Tonggak Sejarah Demokrasi

Pemilu 1999 adalah Pemilu pertama pasca-Orde Baru dan menjadi simbol kebangkitan demokrasi. Ia diselenggarakan di bawah pemerintahan transisi Presiden B.J. Habibie dan memiliki karakteristik yang sangat berbeda:

  1. Partisipasi Multi-Partai: Lebih dari 48 partai politik berhak ikut serta, sebuah lonjakan drastis dari hanya tiga partai di Orde Baru. Ini mencerminkan kebebasan berserikat dan berkumpul yang kembali dibuka.
  2. Penyelenggara Independen: Untuk pertama kalinya, Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, tidak lagi di bawah Kementerian Dalam Negeri. Ini adalah langkah krusial untuk menjamin netralitas dan objektivitas.
  3. Transparansi dan Pengawasan: Proses Pemilu jauh lebih transparan, dengan pengawasan dari berbagai elemen masyarakat sipil dan pengamat internasional.
  4. Sistem Proporsional Terbuka (dengan modifikasi): Meskipun masih menggunakan sistem proporsional, ada upaya untuk membuat suara lebih langsung mencerminkan pilihan rakyat.

Hasil dan Dampak:
Pemilu 1999 menghasilkan DPR yang lebih representatif dengan berbagai kekuatan politik, termasuk PDI Perjuangan (pimpinan Megawati Soekarnoputri) sebagai pemenang, diikuti Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Pemilu ini berhasil mengembalikan kepercayaan publik pada proses demokrasi dan menjadi fondasi bagi reformasi politik selanjutnya.

B. Pemilu 2004: Era Pemilihan Presiden Langsung

Salah satu reformasi paling signifikan adalah perubahan sistem pemilihan presiden. Jika sebelumnya presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), amandemen UUD 1945 memungkinkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

Karakteristik Pemilu 2004 dan Selanjutnya:

  1. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung:
    • Ini adalah terobosan besar yang memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat dalam memilih pemimpin eksekutif.
    • Pemilu presiden diselenggarakan dalam dua putaran jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dengan sebaran minimal 20% di lebih dari separuh provinsi.
    • Pemilu 2004 mencatat sejarah dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.
  2. Penguatan KPU dan Bawaslu:
    • KPU semakin diperkuat sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang independen.
    • Dibentuknya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga pengawas yang independen, bertugas menerima laporan pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu.
  3. Sistem Pemilu Legislatif Proporsional Terbuka:
    • Sejak Pemilu 2009, sistem Pemilu legislatif menggunakan proporsional terbuka, yang berarti pemilih tidak hanya memilih partai tetapi juga dapat langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang mereka inginkan. Ini meningkatkan akuntabilitas caleg kepada pemilih.
  4. Peningkatan Partisipasi dan Tantangan Baru:
    • Partisipasi pemilih di era Reformasi cenderung tinggi, menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap demokrasi.
    • Namun, seiring waktu, muncul tantangan-tantangan baru:
      • Politik Uang (Money Politics): Praktik jual beli suara yang merusak integritas Pemilu.
      • Berita Bohong (Hoaks) dan Polarisasi: Penyebaran informasi palsu dan pembelahan masyarakat berdasarkan pilihan politik, terutama dengan maraknya penggunaan media sosial.
      • Rendahnya Literasi Politik: Sebagian pemilih masih kurang memahami visi misi kandidat dan lebih terpengaruh oleh isu-isu superfisial.
      • Tingginya Biaya Politik: Kompetisi yang ketat dan sistem proporsional terbuka membuat biaya kampanye sangat tinggi, berpotensi memicu korupsi atau ketergantungan pada donatur.

IV. Refleksi dan Masa Depan: Pemilu sebagai Pilar Demokrasi

Perjalanan Pemilu di Indonesia adalah sebuah saga tentang pencarian jati diri bangsa. Dari Pemilu 1955 yang penuh harapan namun terganjal, Pemilu Orde Baru yang stabil namun represif, hingga Pemilu Reformasi yang bebas namun penuh tantangan, setiap babak memiliki pelajaran berharga.

Pelajaran Penting Perjalanan Pemilu di Indonesia:

  • Demokrasi Bukan Tujuan Akhir, tetapi Proses Berkelanjutan: Pemilu hanyalah salah satu instrumen demokrasi. Keberhasilan demokrasi juga ditentukan oleh supremasi hukum, kebebasan sipil, partisipasi publik, dan akuntabilitas pemerintah.
  • Pentingnya Institusi yang Kuat: KPU dan Bawaslu yang independen adalah kunci integritas Pemilu. Penguatan lembaga-lembaga ini harus terus dilakukan.
  • Peran Masyarakat Sipil dan Media: Pengawasan dari masyarakat sipil dan media yang bebas sangat krusial untuk memastikan Pemilu berjalan jujur dan adil.
  • Pendidikan Politik dan Literasi Pemilih: Untuk menghadapi tantangan seperti hoaks dan politik uang, peningkatan literasi politik masyarakat menjadi sangat vital. Pemilih yang cerdas adalah fondasi demokrasi yang sehat.
  • Penyempurnaan Regulasi: Undang-undang Pemilu harus terus dievaluasi dan disempurnakan untuk menjawab tantangan zaman, memastikan keadilan, dan mendorong partisipasi berkualitas.

Pemilu di Indonesia telah melewati berbagai fase, dari yang penuh idealisme hingga yang penuh pragmatisme, dari yang sangat terbuka hingga yang sangat terkontrol. Era Reformasi telah membuka pintu bagi demokrasi yang lebih matang, memberikan kedaulatan sejati kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya. Namun, perjalanan ini belum selesai. Tantangan selalu ada, dan kualitas demokrasi Indonesia akan terus diuji dan dibentuk oleh setiap Pemilu yang akan datang.

Pada akhirnya, Pemilu adalah tanggung jawab kita bersama. Partisipasi aktif, kritis, dan cerdas dari setiap warga negara adalah kunci untuk memastikan bahwa jantung demokrasi Indonesia akan terus berdenyut, membawa kita menuju masa depan yang lebih baik.