7 Fakta Menarik Tentang Gedung Parlemen Indonesia

Menyingkap Kisah di Balik Kubah: 7 Fakta Menarik Tentang Gedung Parlemen Indonesia

SERBA-SERBI102 Dilihat

PARLEMENTARIA.ID – Gedung Parlemen. Di jantung Ibu Kota Jakarta, di kawasan Senayan yang rindang, menjulang megah sebuah bangunan ikonik yang telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa: Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Dikenal dengan arsitekturnya yang khas, terutama kubah setengah bolanya yang menyerupai tempurung kura-kura, kompleks parlemen ini bukan sekadar kumpulan beton dan kaca. Ia adalah simbol kedaulatan rakyat, pusat legislasi, dan panggung utama drama politik nasional.

Namun, di balik fasadnya yang familiar, tersimpan banyak kisah dan fakta menarik yang jarang diketahui publik. Mari kita selami lebih dalam dan ungkap 7 fakta menarik tentang Gedung Parlemen Indonesia yang mungkin belum Anda tahu.

1. Lahir dari Gagasan Konferensi Dunia: Proyek CONEFO yang Berubah Fungsi

Mungkin fakta paling mengejutkan adalah bahwa kompleks parlemen megah ini awalnya tidak dirancang untuk menjadi gedung legislatif. Pada awal 1960-an, Presiden Soekarno memiliki gagasan besar untuk menyelenggarakan Konferensi Angkatan-Angkatan Baru (Conference of the New Emerging Forces – CONEFO), sebuah tandingan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan menyatukan negara-negara yang baru merdeka dan memiliki visi politik non-blok. Untuk mewadahi konferensi akbar ini, Soekarno memerintahkan pembangunan sebuah kompleks monumental.

Namun, gejolak politik pada pertengahan 1960-an, terutama peristiwa G30S/PKI dan transisi kekuasaan, membuat rencana CONEFO batal terlaksana. Gedung yang sudah setengah jadi ini kemudian dialihfungsikan menjadi markas besar lembaga legislatif Indonesia, yang kita kenal sekarang sebagai Gedung DPR/MPR/DPD. Perubahan fungsi ini menunjukkan adaptasi luar biasa dari sebuah visi global menjadi simbol demokrasi domestik.

2. Mahakarya Arsitek Lokal: Soejoedi Wirjoatmodjo dan Filosofi Kubah

Di tengah tren penggunaan arsitek asing untuk proyek-proyek besar pada masa itu, Soekarno dengan tegas menunjuk arsitek asli Indonesia, Ir. Soejoedi Wirjoatmodjo, untuk merancang kompleks CONEFO. Soejoedi, seorang visioner, berhasil menciptakan desain yang futuristik namun tetap sarat makna filosofis.

Kubah ikonik yang menyerupai tempurung kura-kura raksasa bukan sekadar keunikan visual. Menurut Soejoedi, bentuk kubah melambangkan perlindungan, persatuan, dan kedaulatan rakyat. Ia ingin menciptakan sebuah ruang yang mampu menaungi seluruh aspirasi bangsa, sekaligus mencerminkan keharmonisan dan kekuatan. Desainnya yang melengkung juga dirancang untuk memberikan akustik yang optimal di dalam ruang sidang utama. Ini adalah bukti bahwa arsitek lokal memiliki kapasitas untuk menghasilkan karya monumental yang mendunia.

3. Sebuah Kota Kecil dalam Gedung: Kompleksitas Bangunan yang Luar Biasa

Gedung Parlemen Indonesia bukan hanya satu bangunan, melainkan sebuah kompleks yang sangat luas dan mandiri, menyerupai sebuah kota kecil. Area ini mencakup beberapa gedung utama yang saling terhubung:

    • Nusantara I: Gedung utama dengan kubah ikonik yang menjadi lokasi Ruang Rapat Paripurna DPR, Ruang Sidang Paripurna MPR, dan Ruang Sidang Paripurna DPD.
    • Nusantara II, III, IV, V: Gedung-gedung perkantoran bagi anggota DPR, DPD, dan MPR, serta ruang-ruang komisi dan alat kelengkapan dewan.
    • Gedung Sekretariat Jenderal: Pusat administrasi dan dukungan operasional parlemen.
    • Masjid Baiturrahman: Fasilitas ibadah bagi seluruh civitas dan pengunjung.
    • Perpustakaan, Pusat Pers, Poliklinik, hingga Kantor Pos: Berbagai fasilitas pendukung yang memastikan operasional berjalan lancar dan kebutuhan para anggota terpenuhi.

 

Luas total kompleks ini mencapai puluhan hektar, menjadikannya salah satu kompleks parlemen terbesar di dunia, lengkap dengan jalanan, taman, dan area parkir yang luas.

4. Simbolisme Pancasila dalam Detail Arsitektur Interior

Filosofi kebangsaan Indonesia, Pancasila, tidak hanya terpampang di luar, tetapi juga terintegrasi dalam detail arsitektur interior gedung, terutama di Ruang Rapat Paripurna Nusantara I. Lima pilar Pancasila diwujudkan dalam elemen-elemen desain yang tersembunyi namun bermakna.

Misalnya, lima pilar penyangga utama di dalam ruang paripurna dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari lima sila Pancasila. Bentuk melingkar ruangan melambangkan persatuan dan musyawarah mufakat. Penggunaan material lokal dan ornamen yang terinspirasi dari budaya Indonesia juga menegaskan identitas nasional. Setiap detail dirancang untuk mengingatkan para wakil rakyat akan dasar negara yang harus selalu dijunjung tinggi dalam setiap keputusan legislatif.

5. Saksi Bisu Berbagai Peristiwa Sejarah Penting

Sejak diresmikan dan mulai beroperasi sebagai Gedung Parlemen pada tahun 1968, kompleks ini telah menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting dalam sejarah politik Indonesia. Dari pidato-pidato kenegaraan yang mengubah arah bangsa, pengesahan undang-undang krusial, hingga momen-momen genting seperti Sidang Istimewa MPR pada 1998 yang mengantarkan era Reformasi, dan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali.

Gedung ini telah menyaksikan pergantian kepemimpinan nasional, perdebatan sengit antara fraksi-fraksi, hingga demonstrasi massal yang menyuarakan aspirasi rakyat di depannya. Setiap sudut gedung menyimpan memori kolektif bangsa, menjadikannya lebih dari sekadar bangunan, tetapi sebuah monumen hidup sejarah Indonesia.

6. Keunikan Akustik Ruang Paripurna Utama

Salah satu tantangan terbesar dalam merancang ruang sidang sebesar Ruang Rapat Paripurna Nusantara I adalah memastikan akustik yang baik tanpa perlu bantuan pengeras suara berlebihan. Ir. Soejoedi Wirjoatmodjo merancang kubah dan dinding-dindingnya dengan perhitungan akustik yang cermat.

Berkat desainnya yang unik, suara yang dihasilkan dari podium utama dapat terdengar jelas hingga ke seluruh penjuru ruangan, bahkan tanpa mikrofon. Ini adalah keajaiban arsitektur yang memungkinkan jalannya sidang menjadi lebih efektif dan komunikasi antara pimpinan sidang dan anggota dapat berlangsung lancar, meskipun dalam skala besar.

7. “Rumah Rakyat” yang Terbuka (dengan Protokol Keamanan Ketat)

Meskipun merupakan objek vital negara dengan tingkat keamanan tinggi, Gedung Parlemen Indonesia tetap dijuluki sebagai “Rumah Rakyat.” Ini berarti, secara filosofis, gedung ini adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Dalam praktiknya, ada upaya untuk menjaga aksesibilitas publik.

Meskipun tidak semua area terbuka bebas, masyarakat umum, terutama rombongan pelajar dan mahasiswa, seringkali diizinkan untuk melakukan kunjungan edukasi dan tur terbatas ke beberapa bagian gedung, termasuk Ruang Rapat Paripurna, untuk memahami proses legislasi dan peran parlemen. Area di depan gedung juga sering menjadi lokasi bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka melalui demonstrasi damai, menegaskan peran gedung ini sebagai wadah demokrasi.

Gedung Parlemen Indonesia adalah lebih dari sekadar sebuah bangunan megah; ia adalah sebuah narasi panjang tentang sejarah, arsitektur, filosofi, dan perjalanan demokrasi bangsa. Setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap ruangannya menjadi saksi bisu perjuangan dan harapan. Dengan memahami fakta-fakta menarik ini, kita bisa lebih menghargai keberadaan dan signifikansi “Rumah Rakyat” yang berdiri kokoh di tengah hiruk pikuk Ibu Kota.