DPR RI: Jangan Sampai Surabaya Ramah Anak Tapi Goyah di Moroseneng

PARLEMENTARIA.ID Di tengah tumpukan penghargaan yang membuat baliho kota semakin gemuk, Surabaya kembali digelitik kabar lama: eks lokalisasi Moroseneng di kawasan barat disebut-sebut mulai berdenyut lagi.

Dan kali ini, bukan taman baca atau rumah padat karya yang jadi bahan pembicaraan, melainkan denyut yang dulu sudah lama dinyatakan “berhenti”.

Sorotan datang dari Anggota Komisi X DPR RI, Reni Astuti, yang melontarkan peringatan keras tapi halus: jangan biarkan Moroseneng menjadi lembar sejarah yang dibuka ulang.
Meski kini diklaim dalam pengawasan ketat, Reni meminta Pemerintah Kota Surabaya dan aparat penegak hukum (APH) tetap pasang badan, bukan sekadar pasang spanduk.

Menurutnya, pemerintah perlu menunjukkan komitmen serta ketegasan mutlak. Tujuannya satu, supaya praktik prostitusi yang pernah ditutup era Wali Kota Tri Rismaharini itu tidak kembali menggeliat.

“Banyak sekali titel yang disandang oleh Surabaya. Potensi kota ini sangat luar biasa. Oleh karena itu, kabar terkait kembali beroperasinya prostitusi di wilayah Surabaya Barat tentu menjadi hal yang sangat disayangkan dan tidak diinginkan oleh masyarakat,” kata Reni, Kamis, 23 Oktober 2025.

Predikat Surabaya memang banyak: Kota Ramah Anak, Kota Literasi, Kota Sehat, hingga Kota Green and Clean. Namun seperti kata pepatah, semakin banyak gelar, semakin berat menjaga perilaku agar tetap pantas menyandangnya.

Reni meyakini, seluruh warga Surabaya tidak akan setuju dengan kembalinya bisnis esek-esek tersebut.
Karenanya, ia menyatakan kepercayaan penuh kepada Wali Kota Eri Cahyadi untuk melakukan pengawasan ketat.

Di sisi lain, dirinya menyerukan agar seluruh elemen di Kota Pahlawan tetap kompak dan konsisten menolak segala bentuk prostitusi.

“Kalau pun kemudian ada, masih ada ditemukan prostitusi, maka semua elemen harus kompak, sama-sama konsisten, sama-sama komit bahwa kita tolak segala bentuk prostitusi yang ada di Surabaya,” serunya.

DPR RI: Dari Dolly ke Moroseneng Ujian Konsistensi

Sebagai kota yang dulu dikenal mampu menutup dua lokalisasi besar, Dolly dan Moroseneng, wajar jika publik kini menagih ketegasan yang sama.
Apalagi, kawasan eks Moroseneng kini telah disulap jadi tempat kegiatan sosial—ada taman baca, kantor MUI, rumah ibadah, hingga rumah padat karya.

Namun, tanpa penjagaan moral dan ketegasan hukum, semua itu bisa berubah menjadi hiasan proyek tanpa makna.

“Kalau kita tidak kompak, tidak tegas, ya (prostitusi) bisa masuk,” tuturnya.

Kata Reni, prostitusi bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga soal masa depan anak-anak di lingkungan padat seperti Moroseneng.
Dan seperti biasa, ia mengingatkan pentingnya peran warga. Era digital membuat laporan masyarakat bisa lebih cepat dari rapat koordinasi.

“Tanggung jawab pemerintah daerah sangat besar. Tanggung jawab aparat keamanan juga sangat besar. Di era yang serba terbuka ini, masyarakat bisa bersuara kapan saja. Jadi, jangan tunggu viral dulu, baru diintervensi,” tandasnya.

Dari Risma ke Eri: Pekerjaan Rumah yang Tak Pernah Tamat

Di akhir, Reni tak lupa memberi apresiasi tinggi kepada Tri Rismaharini, yang berhasil menutup dua lokalisasi besar di masa lalu. Tapi, kata dia, perjuangan belum selesai—justru baru mulai.

“PR-nya adalah bagaimana kemudian menumbuhkan kesejahteraan masyarakat,” kata Reni.

“Saya yakin, Pak Eri Cahyadi, wali kota saat ini, yang memiliki konsen besar dalam peningkatan kesejahteraan bisa mengawal ini. Terlebih, sektor pendidikan dan kesehatan di Surabaya telah berjalan luar biasa,” tuntasnya.

Begitulah—Surabaya mungkin sudah bersih di peta, tapi belum tentu steril di ingatan.
Menjaga kota dari prostitusi ternyata tak cukup dengan penghargaan, tapi butuh pengawasan yang tak mengenal jam kerja. [@]