Mekanisme Judicial Review di Mahkamah Konstitusi

HUKUM63 Dilihat


PARLEMENTARIA.ID – >

Menguak Tabir Judicial Review: Kekuatan Rakyat di Mahkamah Konstitusi

Pernahkah Anda merasa sebuah undang-undang di negeri ini terasa "tidak adil" atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang dijamin oleh Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)? Mungkin Anda bertanya-tanya, apakah ada mekanisme hukum untuk mengoreksi atau bahkan membatalkan undang-undang tersebut? Jawabannya ada: melalui Judicial Review atau Uji Materiil di Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahkamah Konstitusi, sering disebut sebagai "penjaga konstitusi", adalah lembaga yang memiliki peran krusial dalam memastikan setiap produk hukum, khususnya undang-undang, selaras dengan UUD 1945. Judicial Review adalah jantung dari peran ini, sebuah mekanisme hukum yang memberikan kekuatan luar biasa kepada warga negara untuk "menguji" produk legislatif. Mari kita selami lebih dalam bagaimana proses ini bekerja, selangkah demi selangkah.

Apa Itu Judicial Review dan Mengapa Penting?

Secara sederhana, Judicial Review adalah proses pengujian keselarasan sebuah undang-undang (UU) terhadap UUD 1945. Ini bukan sekadar "protes" biasa, melainkan sebuah jalur hukum resmi yang dapat mengubah lanskap hukum di Indonesia.

Mengapa ini penting?

  1. Pelindung Hak Konstitusional: JR memastikan hak-hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi tidak dilanggar oleh undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
  2. Penjaga Demokrasi: Ini adalah mekanisme check and balance yang esensial, mencegah lembaga legislatif dan eksekutif menyalahgunakan kekuasaan untuk membuat undang-undang yang otoriter atau inkonstitusional.
  3. Supremasi Konstitusi: Mengukuhkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi yang menjadi acuan bagi semua peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Bayangkan MK sebagai seorang wasit dalam pertandingan besar. Tugasnya adalah memastikan semua pemain (pembuat undang-undang) bermain sesuai aturan main (UUD 1945). Jika ada pemain yang melanggar, wasit memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi atau membatalkan hasil permainan.

Siapa Saja yang Berhak Mengajukan Permohonan? (Legal Standing)

Salah satu keindahan dari Judicial Review adalah bahwa ia tidak hanya terbatas pada lembaga negara. Justru, pintu MK terbuka lebar bagi warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Siapa saja yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dapat mengajukan permohonan. Mereka adalah:

  1. Perorangan Warga Negara Indonesia: Ini adalah kategori pemohon yang paling umum. Anda, sebagai individu, jika merasa hak-hak konstitusional Anda tercederai oleh berlakunya suatu undang-undang, berhak mengajukan permohonan. Kuncinya adalah adanya kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, aktual, atau potensial di masa depan, dan kerugian itu diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
  2. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat: Sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.
  3. Badan Hukum Privat: Seperti perusahaan, yayasan, atau organisasi non-pemerintah (NGO).
  4. Lembaga Negara: Meskipun jarang, lembaga negara juga bisa mengajukan JR jika mereka merasa ada tumpang tindih kewenangan atau pelanggaran konstitusi.

Intinya, Anda harus bisa membuktikan bahwa undang-undang yang Anda permasalahkan secara langsung atau tidak langsung merugikan hak-hak konstitusional Anda yang dijamin UUD 1945.

Apa Saja yang Bisa Diuji? (Objek Permohonan)

Mahkamah Konstitusi memiliki yurisdiksi yang sangat spesifik. Objek yang bisa diuji di MK hanyalah Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945. Penting untuk diingat:

  • Bukan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau Peraturan Daerah (Perda): Pengujian terhadap peraturan di bawah undang-undang ini adalah kewenangan Mahkamah Agung (MA). Jadi, jika masalah Anda terkait PP atau Perda, Anda perlu mengajukan permohonan ke MA.
  • Bukan Kebijakan Pemerintah: MK tidak menguji kebijakan, melainkan produk hukum berupa undang-undang.

Ada dua jenis pengujian yang bisa dilakukan di MK:

  1. Uji Materiil (Substantive Review): Ini adalah jenis pengujian yang paling sering diajukan. Pemohon mempersoalkan materi atau isi dari pasal, ayat, atau bagian tertentu dalam undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya, sebuah pasal mengatur pembatasan kebebasan berpendapat yang dianggap berlebihan dan melanggar Pasal 28E UUD 1945.
  2. Uji Formil (Formal Review): Pemohon mempersoalkan prosedur pembentukan undang-undang. Apakah prosedur yang digunakan untuk membentuk undang-undang tersebut sudah sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya? Misalnya, tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai atau tidak memenuhi kuorum persidangan. Batas waktu pengajuan uji formil adalah 45 hari sejak undang-undang diundangkan.

Menjelajahi Proses Persidangan di Mahkamah Konstitusi

Mekanisme Judicial Review bukanlah proses instan. Ia melibatkan serangkaian tahapan yang terstruktur dan transparan.

1. Persiapan Permohonan

Langkah pertama adalah menyusun permohonan. Permohonan harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, dan berisi:

  • Identitas Pemohon: Nama, alamat, pekerjaan.
  • Uraian Hak Konstitusional: Hak-hak apa saja yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
  • Kewenangan MK: Penegasan bahwa MK berwenang mengadili permohonan tersebut.
  • Posita (Alasan-Alasan Permohonan): Bagian terpenting yang menjelaskan secara rinci mengapa materi atau formil undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ini harus didukung dengan argumentasi hukum yang kuat.
  • Petitum (Hal-Hal yang Diminta): Permintaan kepada MK, misalnya menyatakan pasal X dalam UU Y bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Meskipun tidak wajib didampingi pengacara, sangat disarankan untuk menggunakan jasa kuasa hukum yang memahami hukum acara MK, mengingat kompleksitas argumentasi dan prosedur yang dibutuhkan.

2. Pendaftaran dan Pemeriksaan Kelengkapan Administrasi

Setelah permohonan siap, pemohon mendaftarkannya ke Kepaniteraan MK. Petugas akan memeriksa kelengkapan administrasi. Jika lengkap, permohonan akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dan mendapatkan nomor perkara.

3. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan

Ini adalah tahapan krusial pertama. Permohonan akan diperiksa oleh panel hakim (biasanya tiga hakim). Dalam sidang ini, hakim akan:

  • Memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan: Apakah permohonan sudah jelas, logis, dan memenuhi syarat formil?
  • Menanyakan kedudukan hukum pemohon: Apakah pemohon benar-benar memiliki kerugian konstitusional?
  • Memberikan nasihat perbaikan: Jika ada kekurangan atau ketidakjelasan, panel hakim akan memberikan nasihat kepada pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan dalam jangka waktu tertentu (biasanya 14 hari kerja).

Tahap ini sangat penting karena banyak permohonan yang "gugur" di sini karena tidak memenuhi syarat atau tidak mampu diperbaiki.

4. Sidang Pemeriksaan Pokok Perkara

Jika permohonan lolos dari tahap pendahuluan dan perbaikan, proses berlanjut ke sidang pemeriksaan pokok perkara. Ini adalah tahap pembuktian dan pendalaman argumentasi. Dalam tahap ini, MK akan mengundang berbagai pihak:

  • Pihak Pemohon: Untuk menjelaskan permohonannya lebih lanjut.
  • Pihak Pemberi Keterangan: Ini adalah pihak-pihak yang membuat undang-undang, yaitu DPR dan Presiden. Mereka akan memberikan keterangan mengenai latar belakang dan tujuan pembentukan undang-undang yang diuji.
  • Pihak Terkait: Pihak lain yang memiliki kepentingan langsung terhadap pokok perkara, misalnya organisasi masyarakat, ahli, atau pihak yang potensial terkena dampak putusan. Mereka bisa menyampaikan pandangan atau bukti.
  • Saksi Ahli dan Saksi Fakta: Pemohon atau pihak terkait bisa mengajukan saksi ahli (untuk memberikan pendapat ilmiah/profesional) atau saksi fakta (untuk memberikan kesaksian atas kejadian nyata).

Semua pihak akan diberikan kesempatan untuk menyampaikan bukti, argumen, dan tanggapan secara lisan maupun tertulis.

5. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)

Setelah semua bukti dan keterangan terkumpul, para hakim konstitusi akan mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Ini adalah forum rahasia di mana sembilan hakim konstitusi membahas, menganalisis, dan mengambil keputusan atas permohonan. Mereka akan mempertimbangkan semua bukti, argumen, dan yurisprudensi yang relevan.

6. Pengucapan Putusan

Tahap akhir adalah pengucapan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Ada beberapa kemungkinan putusan:

  • Permohonan Dikabulkan: MK menyatakan undang-undang atau pasal/ayat tertentu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ini berarti bagian tersebut dinyatakan tidak berlaku sejak putusan diucapkan.
  • Permohonan Ditolak: MK menyatakan undang-undang atau pasal/ayat yang diuji tidak bertentangan dengan UUD 1945.
  • Permohonan Tidak Dapat Diterima: Ini terjadi jika pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau permohonannya tidak jelas (kabur), sehingga MK tidak masuk ke pokok perkara.
  • Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional) atau Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional): Ini adalah putusan yang lebih kompleks, di mana MK menyatakan sebuah undang-undang konstitusional jika dimaknai dengan cara tertentu, atau inkonstitusional jika dimaknai dengan cara lain.

Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) serta berlaku umum (erga omnes). Artinya, putusan tersebut tidak dapat diajukan banding atau kasasi, dan berlaku bagi semua warga negara, tidak hanya bagi pemohon.

Kekuatan Rakyat di Tangan Konstitusi

Mekanisme Judicial Review di Mahkamah Konstitusi adalah cerminan dari prinsip negara hukum demokratis. Ia memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk menjadi "penjaga" konstitusi, memastikan bahwa setiap kebijakan legislatif tetap berada dalam koridor UUD 1945. Prosesnya mungkin panjang dan membutuhkan ketelitian, namun dampaknya sangat besar bagi keadilan, hak asasi manusia, dan masa depan demokrasi Indonesia. Memahami mekanisme ini adalah bentuk partisipasi aktif kita dalam menjaga tegaknya konstitusi.

>