Dugaan Kerusakan Meja Rapat oleh Anggota DPRD Bima Bertentangan dengan Penetapan Tersangka Mahasiswa

PARLEMENTARIA.ID – Dua kejadian berbeda yang diduga melibatkan kerusakan fasilitas pemerintah di Kabupaten Bima mendapat perhatian tajam dari masyarakat. Perbedaan penanganan hukum terhadap enam mahasiswa dan satu anggota DPRD Bima menjadi topik pembicaraan penting mengenai kesetaraan dalam sistem hukum.

Di akhir Mei 2025, Satreskrim Polres Bima segera menetapkan enam mahasiswa sebagai tersangka dalam aksi demonstrasi yang menyebabkan kerusakan pada sebuah kendaraan dinas. Mereka dikenai Pasal 170 KUHP terkait tindakan kekerasan bersama terhadap barang, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. Penangkapan dan pemberian status tersangka berlangsung dalam hitungan hari setelah aksi demonstrasi terjadi.

Namun, dalam kasus lain yang terjadi di akhir Juli 2025, tanggapan hukum justru terlambat. Anggota DPRD Kabupaten Bima dari Fraksi PKB, Nurdin, diduga merusak sebuah meja kaca di ruang rapat paripurna DPRD.

Peristiwa tersebut terjadi saat rapat resmi sedang berlangsung dan dihadiri oleh banyak pihak. Meskipun begitu, polisi belum langsung menetapkan tersangka, dan proses hukum baru dimulai setelah ada laporan dari seorang warga bernama Ahmad, S.H., yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum Pembela Rakyat Indonesia (LBH-PRI).

Kepala LBH-PRI, Imam Muhajir, S.H., M.H., menegaskan bahwa laporan mengenai dugaan kerusakan telah diterima oleh SPKT Polres Bima Kota, dan pihaknya akan memantau proses hukum sampai selesai. Ia menyampaikan kekecewaan terhadap dugaan adanya standar ganda dalam penegakan hukum.

“Jangan sampai hukum hanya keras terhadap warga biasa, tetapi lembut terhadap pejabat,” tegas Imam dalam pernyataannya.

Di sisi lain, Nurdin kepada awak media mengatakan siap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya secara emosional. Namun hingga berita ini dipublikasikan, belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian mengenai status hukum terkait.

Dugaan Kasus DPRD Bima Picu Kritik Masyarakat

Kasus ini memicu kritik masyarakat mengenai prinsip kesamaan di hadapan hukum. Banyak pihak berpendapat bahwa tindakan merusak fasilitas negara, baik dilakukan oleh mahasiswa maupun pejabat, seharusnya ditangani secara sama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sampai saat ini, masyarakat Bima masih menantikan tindakan nyata dari aparat penegak hukum, apakah akan menjalankan proses hukum secara adil atau membiarkan ketidakadilan hukum terus berlangsung.***