PARLEMENTARIA.ID – Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Imam Syafi’i, mempertanyakan data kemiskinan yang dirilis oleh Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya, yang menunjukkan penurunan jumlah keluarga miskin secara drastis. Menurut data Dinsos, jumlah keluarga miskin di Surabaya saat ini hanya 76 ribu Kepala Keluarga (KK), dengan angka kemiskinan ekstrem diklaim mencapai nol. Imam menyebut data ini membingungkan dan kurang masuk akal mengingat kondisi ekonomi masyarakat.
Imam Syafi’i merasa bahwa penurunan angka kemiskinan ini tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Berdasarkan pengamatannya, sebelumnya terdapat sekitar 130 ribu KK yang teridentifikasi sebagai keluarga miskin dengan penandaan stiker merah. Jika kini jumlahnya hanya 76 ribu, menurutnya, banyak keluarga miskin yang masih berjuang di tengah kesulitan ekonomi.
“Terus terang saya bingung, saya harus bahagia atau harus ketawa. Dinas Sosial mengklaim jumlah keluarga miskin tinggal 76 ribu KK dan keluarga miskin ekstrem sudah nol, artinya tidak ada lagi,” ujar Imam.
Imam juga menyoroti kriteria kemiskinan yang digunakan, yang seringkali dianggap kurang representatif. Sebagai contoh, keluarga yang memiliki motor atau lantai rumah berkeramik kerap dianggap tidak miskin oleh pemerintah pusat, padahal banyak dari mereka masih menghadapi masalah ekonomi serius.
Selain itu, Imam mengungkapkan bahwa sebanyak 34 ribu KK dicoret dari data kemiskinan oleh Dispendukcapil karena dianggap tidak ditemukan saat verifikasi, meskipun sebagian besar masih tergolong miskin.
Di tengah tantangan ekonomi saat ini, Imam menilai penurunan angka kemiskinan ini justru tidak selaras dengan realitas.
“Kami di DPRD sering mendapat keluhan warga yang kesulitan bayar sekolah, tidak bisa nebus ijazah, atau kesulitan mencari pekerjaan akibat banyak PHK. Saat kondisi negatif seperti ini, angka kemiskinan malah menurun. Hitungannya dari mana?” tanyanya.
Imam Syafi’i Dorong Survey Mendalam Verifikasi Kemiskinan
Untuk memastikan data yang akurat, Imam mendorong adanya survei lebih mendalam untuk memverifikasi kondisi masyarakat, serta berharap pemerintah kota berani merevisi data jika ternyata tidak akurat.
“Kalau memang data dari pusat tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya, pemerintah kota harus berani mengoreksi,” tegasnya.
Terakhir, Imam menyampaikan bahwa ada kekhawatiran di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk melaporkan data kemiskinan atau stunting yang sebenarnya, karena takut berdampak negatif pada citra pemerintah kota.
“Kadang ada staf lurah atau camat yang enggan melaporkan penambahan angka kemiskinan karena khawatir performa pemerintah kota terlihat buruk. Padahal, yang penting itu data harus objektif dan jujur,” pungkas Imam Syafi’i. (ks)
Respon (1)
Komentar ditutup.